SURAT
PERJANJIAN
A. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Berbicara
menganai transaksi jual beli, tidak terlepas dari konsep perjanjian secara
mendasar sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menegaskan bahwa
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ketentuan yang mengatur tentang
perjanjian terdapat dalam Buku III KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka
artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi
mengatur saja. Sifat terbuka dari KUH Perdata ini tercermin dalam Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata yang mengandung asas Kebebasan Berkontrak, maksudnya
setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan
dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian
sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatakan bahwa, syarat
sahnya sebuah perjanjian adalah sebagai berikut:
1.
Kesepakatan
para pihak dalam perjanjian;
2.
Kecakapan para
pihak dalam perjanjian;
3.
Suatu hal
tertentu;
4.
Suatu sebab
yang halal;
Kesepakatan
berarti adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian,
sehingga dalam melakukan suatu perjanjian tidak boleh ada pakasaan, kekhilapan dan
penipuan (dwang, dwaling, bedrog). Kecakapan hukum sebagai salah satu syarat
sahnya perjanjian maksudnya bahwa para pihak yang melakukan perjanjian harus
telah dewasa yaitu telah berusia 18 tahun atau telah menikah, sehat mentalnya
serta diperkenankan oleh undang-undang. Apabila orang yang belum dewasa hendak
melakukan sebuah perjanjian, maka dapat diwakili oleh orang tua atau walinya
sedangkan orang yang cacat mental dapat diwakili oleh pengampu atau curatornya.
Suatu hal tertentu berhubungan
dengan objek perjanjian, maksudnya bahwa objek perjanjian itu harus jelas,
dapat ditentukan dan diperhitungkan jenis dan jumlahnya, diperkenankan oleh
undang-undang serta mungkin untuk dilakukan para pihak. Suatu sebab yang halal,
berarti perjanjian termaksud harus dilakukan berdasarkan itikad baik.
Berdasarkan Pasal 1335 KUH Perdata, suatu perjanjian tanpa sebab tidak
mempunyai kekuatan. Sebab dalam hal ini adalah tujuan dibuatnya sebuah
perjanjian.
Kesepakatan para pihak dan kecakapan
para pihak merupakan syarat sahnya perjanjian yang bersifat subjektif. Apabila
tidak tepenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama dan sepanjang
para pihak tidak membatalkan perjanjian, maka perjanjian masih tetap berlaku.
Sedangkan suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat sahnya
perjanjian yang bersifat objektif. Apabila tidak terpenuhi, maka perjanjian
batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.Pada
kenyataannya, banyak perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian
secara keseluruhan, misalnya unsur kesepakatan sebagai persesuaian kehendak
dari para pihak yang membuat perjanjian pada saat ini telah mengalami
pergeseran dalam pelaksanaannya.
B. Unsur Perjanjian
Pada
saat ini muncul perjanjian-perjanjian yang dibuat dimana isinya hanya merupakan
kehendak dari salah satu pihak saja. Perjanjian seperti itu dikenal dengan
sebutan Perjanjian Baku (standard of contract). Pada dasarnya suatu perjanjian
harus memuat beberapa unsur perjanjian yaitu:
1.
Unsur esentialia,
sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam perjanjian, seperti identitas para
pihak yang harus dicantumkan dalam suatu perjanjian, termasuk perjanjian yang
dilakukan jual beli secara elektronik
2.
Unsur naturalia,
merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian walaupun tidak dituangkan
secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik dari masing-masing pihak
dalam perjanjian.
3.
Unsur accedentialia,
yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak dalam perjanjian, seperti
klausula tambahan yang berbunyi barang yang sudah dibeli tidak dapat
dikembalikan.
Dalam
suatu perjanjian harus diperhatikan pula beberapa macam azas yang dapat
diterapkan antara lain:
1.
Asas
Konsensualisme, yaitu asas kesepakatan, dimana suatu perjanjian dianggap ada
seketika setelah ada kata sepakat
2.
Asas
Kepercayaan, yang harus ditanamkan diantara para pihak yang membuat perjanjian
3.
Asas kekuatan
mengikat, maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian terikat pada
seluruh isi perjanjian dan kepatutan yang berlaku
4.
Asas Persamaan
Hukum, yaitu bahwa setiap orang dalam hal ini para pihak mempunyai kedudukan
yang sama dalam hukum
5.
Asas
Keseimbangan, maksudnya bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus ada
keseimbangan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai dengan apa yang
diperjanjikan
6.
Asas Moral
adalah sikap moral yang baik harus menjadi motivasi para pihak yang membuat dan
melaksanakan perjanjian
7.
Asas Kepastian
Hukum yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai
undang-undang bagi para pembuatnya
8.
Asas Kepatutan maksudnya
bahwa isi perjanjian tidak hanya harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku tetapi juga harus sesuai dengan kepatutan,
sebagaimana ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
9.
Asas Kebiasaan,
maksudnya bahwa perjanjian harus mengikuti kebiasaan yang lazim dilakukan,
sesuai dengan isi pasal 1347 KUH Perdata yang berbunyi hal-hal yang menurut
kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke dalam
perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Hal ini merupakan
perwujudan dari unsur naturalia dalam perjanjian.
Semua
ketentuan perjanjian tersebut diatas dapat diterapkan pula pada perjanjian yang
dilakukan melalui media internet, seperti perjanjian jual beli secara
elektronik, sebagai akibat adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jual beli tidak hanya
dapat dilakukan secara berhadapan langsung antara penjual dengan pembeli,
tetapi juga dapat dilakukan secara terpisah antara penjual dan pembeli,
sehingga mereka tidak berhadapan langsung, melainkan transaksi dilakukan
melalui media internet/secara elektronik.
Dalam
kontrak jual beli para pelaku yang terkait didalamnya yaitu penjual atau pelaku
usaha dan pembeli yang berkedudukan sebagai konsumen memiliki hak dan kewajiban
yang berbeda-beda. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur mengenai kewajiban-kewajiban pelaku
usaha, dalam hal ini penjual yang menawarkan dan menjual suatu produk, yaitu:
1.
beritikad baik
dalam melakukan kegiatan usahanya;
2.
memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan
atau jasa serta memberikan
3.
penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
4.
memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif;
5.
menjamin mutu
barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
6.
memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
7.
memberi
kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian.
C. Aturan Larangan
Sementara
itu, berdasarkan ketentuan pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur
pula mengenai beberapa perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku
usaha/penjual, antara lain pelaku usaha/penjual dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
1.
tidak memenuhi
atau tidak sesuai dengan standar yang disyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan;
2.
tidak sesuai
dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana
yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3.
tidak sesuai
dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang
sebenarnya;
4.
tidak sesuai
dengan kondisi jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan
dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5.
tidak sesuai
dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode atau penggunaan
tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut;
6.
tidak sesuai
dengan janji yang dinyatakan dalam label,etiket, keterangan, iklan atau promosi
penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7.
tidak
mencantumkan tanggal daluwarasa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu;
8.
tidak mengikuti
ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halan yang
dicantumkan dalam label;
9.
tidak memasang
label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi
bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggalpembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat;
10. tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahasa Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Disamping
itu, pelaku usaha atau penjual juga tidak diperkenankan menjual barang yang
rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar atas barang termaksud; atau memperdagangkan sediaan farmasi dan
pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar dengan atau tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar. Dengan demikian apabila terjadi hal seperti
itu, maka pelaku usaha atau penjual wajib menarik barang yang diperdagangkannya
itu dari peredaran. Pada kenyataannya pelaku usaha atau penjual sering
melakukan tindakan yang merugikan dalam menjual produk-produknya hingga
menimbulkan kerugian bagi para pembeli atau konsumennya. Oleh karena itu,
Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah dengan tegas memberikan batasan bagi
pelaku usaha dalam hal ini penjual dalam menawarkan dan menjual produknya
tersebut antara lain termuat dalam Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
yang menegaskan bahwa penjual dilarang menawarkan mempromosikan, mengiklankan
suatu barang dan atau jasa secara tidak benar dan atau seolah-olah:
1.
Barang tersebut
telah memenuhi dan atau memiliki potongan harga khusus, standar mutu tertentu,
gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
2.
Barang tersebut
dalam keadaan baik dan atau baru;
3.
Barang dan/atau
jasa tersebut telah mendapatkan dan atau memiliki sponsor, persetujuan,
perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori
tertentu;
4.
Barang dan/atau
jasa termaksud dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau
afiliasi;
5.
Barang dan/atau
jasa tersebut tersedia;
6.
Barang tersebut
tidak mengandung cacat tersebunyi;
7.
Barang tersebut
merupakan barang perlengkapan dari barang tertentu;
8.
Barang tersebut
berasal dari daerah tertentu;
9.
Secara langsung
atau tidak langsung merendahkan barang lain;
10. menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak
menimbulkan efek samping, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau bahkan
tanpa keterangan yang lengkap.
11. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Dengan demikian seorang penjual tida
diperbolehkan menawarkan dan atau menjual barang dan atau jasa melalui
penawaran yang mengadung pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai
harga atau tarif barang dan atau jasa; kegunaan barang dan atau jasa; kondisi,
tanggungan, jaminan hak atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa;
tawaran potongan harga atau hadiah menarik serta bahaya penggunaan barang dan
atau jasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang perlindungan
Konsumen. Pelaku usaha atau penjual dilarang pula untuk menawarkan dan
memperdagangkan barang dan atau jasanya dengan cara pemaksaan yang dapat
menimbulkan gangguan fisik dan atau psikis terhadap konsumen atau pembelinya.
Apabila transaksi jual beli dilakukan dengan sistem pesanan, maka pelaku usaha
atau penjual harus menepati kesepakatan yang telah dibuat dengan konsumen atau
pembeli sehingga tidak melampaui batas waktu yang telah diperjanjikan. Bagi
para pelaku usaha atau penjual yang menawarkan produknya melalui suatu iklan,
tidak diperkenankan mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan,
kegunaan dan harga barang dan atau jasa, jaminan/garansi atas barang dan atau
jasa; juga dilarang untuk memberi informasi yang salah mengenai barang dan atau
jasa yang ditawarkan termasuk risiko pemakaiannya serta melanggar etika
periklanan lainnya.
Pelaku usaha atau penjual yang
mengadakan hubungan hukum dengan pembelinya melalui kontrak standar yang memuat
klausula baku maka harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana
termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
D. Hak Penjual
Selain kewajiban, penjual juga memiliki hak dalam proses jual beli
antara lain:
1.
Menentukan dan
menerima harga permbayaran atas penjualan barang, yang kemudian harus
disepakati oleh pembeli.
2.
Penjual juga
berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan pembeli yang beritikad
tidak baik, kemudian haknya untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam
suatu penyelesaian sengketa yang dikarenakan barang yang dijualnya, dalam hal
ini tidak terbukti adanya kesalahan penjual., dan sebagainya.
3.
Sesuai dengan
ketentuan Pasal 6, pelaku usaha dalam hal ini termasuk penjual memiliki hak-hak
sebagai berikut :
4.
Hak untuk
menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
5.
Hak untuk
mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
6.
Hak untuk
melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian sengketa;
7.
Hak untuk
rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
8.
Hak-hak diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain
hak dan kewajiban penjual, ada juga hak dan kewajiban pembeli sebagai pihak
dalam perjanjian jual beli. Kewajiban pembeli juga termuat dalam Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pembeli sebagai konsumen
mempunyai kewajiban dalam proses jual beli sebagai berikut:
1.
Membaca
informasi dan mengikuti prosedur atau petunjuk tentang penggunaan barang dan
atau jasa yang dibelinya.
2.
Beritikad baik
dalam melakukan transaksi jual beli barang dan atau jasa tersebut.
3.
Membayar harga
pembelian pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian
sesuai nilai tukar yang telah disepakati. Harga termaksud berupa sejumlah uang
meskipun hal ini tidak ditegaskan dalam undang-undang, tetapi dianggap telah
terkandung dalam pengertian jual beli sebagaimana diatur dalam Pasal 1465 KUH
Perdata, apabila pembayaran tersebut berupa barang, maka hal tersebut
menggambarkan bahwa yang terjadi bukanlah suatu proses jual beli tapi tukar
menukar, atau pembayaran yang dimaksud berupa jasa berarti mencerminkan
perjanjian kerja. Pada dasarnya harga dalam suatu perjanjian jual beli
ditentukan berdasarkan kesepakatan dua pihak, namun pada kenyataannya ada juga
harga dalam jual beli yang ditentukan oleh pihak ketiga, dengan demikian, hal
tersebut dianggap sebagai perjanjian jual beli dengan syarat tangguh, yang mana
perjanjian dianggap ada pada saat pihak ketiga menentukan harga termaksud.
Berdasarkan Pasal 1465 KUH Perdata, segala biaya untuk membuat akta jual beli
dan biaya tambahan lainnya ditanggung oleh pembeli, kecual diperjanjikan
sebaliknya. Selain harga pembayaran dalam suatu proses jual beli diatur pula
mengenai waktu dan tempat dilakukannya pembayaran, biasanya pembayaran
dilakukan di tempat dan pada saat diserahkannya barang yang diperjual belikan
atau pada saat levering, sebagaimana diatur dalam Pasal 1514 KUH Perdata yang
menyebutkan bahwa apabila pada saat perjanjian jual beli dibuat tidak
ditentukan waktu dan tempat pembayaran maka pembayaran ini harus dilakukan
ditempat dan pada waktu penyerahan barang.
4.
Biaya akta-akta
jual beli serta biaya lainnya ditanggung oleh pembeli.
5.
Mengikuti upaya
penyelesaian hukum secara patut apabila timbul sengketa dari proses jual beli
termaksud.
Selain
kewajiban yang harus dilakukannya, pembeli yang dianggap sebagai konsumen juga
memiliki hak dalam proses jual beli sebagaimana diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, antara lain:
1.
Hak atas
kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
2.
Hak untuk
memilih serta mendapatkan barang dan atau jasa dengan kondisi yang sesuai
dengan yang diperjanjikan.
3.
Hak untuk
mendapatkan informasi secara benar, jujur, dan jelas mengenai barang dan atau
jasa yang diperjualbelikan
4.
Hak untuk
mendapatkan pelayanan dan perlakuan secara benar dan tidak diskriminatif
5.
Hak untuk
didengarkan pendapatnya atau keluhannya atas kondisi barang dan atau jasa yang
dibelinya.
6.
Hak untuk
mendapatkan perlindungan hukum secara patut apabila dari proses jual beli
tersebut timbul sengketa.
7.
Hak untuk
mendapatkan kompensasi atau ganti rugi apabila barang dan atau jasa yang
dibelinya tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Dengan
demikian hak dan kewajiban penjual dan pembeli sebagai para pihak dalam
perjanjian jual beli harus dilaksanakan dengan benar dan lancar, apabila para
pihak memperhatikan dan melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing.
Ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli tersebut diatas,
berlaku juga dalam transaksi jual beli secara elektronik, walaupun antara
penjual dan pembeli tidak bertemu langsung, namun tetap ketentuan mengenai hak
dan kewajiban penjual dan pembeli ini harus tetap ditaati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar