Penataan Ruang dan Ruang Terbuka Hijau
1.
Penataan Ruang
1. 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Tata Ruang
Menurut
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud
dengan ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya. Sedangkan menurut D. A. Tisnaamidjaja, mengatakan ruang adalah wujud
fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi
manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas hidup
yang layak (M. Daud Silalahi, 2001: 78-79).
Ruang
sebagai salah satu tempat untuk melangsungkan kehidupan manusia, juga sebagai
sumber daya alam merupakan salah satu karunia Tuhan kepada Bangsa Indonesia.
Dengan demikian ruang wilayah Indonesia merupakan suatu aset yang harus dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia secara terkoordinasi, terpadu
dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor lain seperti, ekonomi,
sosial, budaya, hankam, serta kelestarian lingkungan untuk mendorong
terciptanya pembangunan nasional yang serasi dan seimbang.
1. 2 Dasar Hukum Tata Ruang
Menurut
Juniarso Ridwan (2008: 23) konsep dasar hukum penataan ruang, tertuang di dalam
pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 yang menyatakan: ”melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban
dunia…”. Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen keempat,
menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut
M. Daud Silalahi (2001: 78-79) salah satu konsep dasar pemikiran tata ruang
menurut hukum Indonesia terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960. Sesuai
dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, tentang pengertian hak menguasai dari negara
terhadap konsep tata ruang, Pasal 2 UUPA memuat wewenang untuk:
a.
Mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa.
b.
Menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang
angkasa.
c.
Menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum
yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Konsep
tata ruang dalam tiga dimensi tersebut di atas, terkait dengan mekanisme
kelembagaan dan untuk perencanannya diatur dalam Pasal 14 yang menyatakan:
(1)
Pemerintah
dalam rangka membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa, dan
(2)
Berdasarkan
rencana umum tersebut Pemda mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan
bumi, air, dan ruang angkasa.
Selanjutnya,
Pasal 15 mengatur tentang pemeliharaan tanah, termasuk mengambah kesuburannya
serta mencegah kerusakannya yang merupakan kewajiban setiap orang, badan hukum,
atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan
memperhatikan pihak ekonomi lemah.
Ketentuan
tersebut memberikan hak penguasan kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia,
dan memberikan kewajiban kepada negara untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Kalimat tersebut mengandung makna, negara mempunyai
kewenangan untuk melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya
alam guna terlaksananya kesejahteraan rakyat yang dikehendaki.
Untuk
dapat mewujudkan tujuan negara tersebut, khususnya untuk meningkatkan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti negara harus dapat
melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan tadi dengan
suatu perencanaan yang cermat dan terarah. Apabila dicermati dengan seksama,
kekayaan alam yang ada dan dimiliki oleh negara, yang semuanya itu memiliki
suatu nilai ekonomis, maka dalam pemanfaatannya pun harus diatur dan
dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi, sehingga tidak akan
adanya perusakan terhadap lingkungan hidup.
Upaya
pelaksanaan perencanaan penataan ruang yang bijaksana adalah kunci dalam
pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam konteks
penguasaan negara atas dasar sumber daya alam, menurut Juniarso Ridwan ”melekat
di dalam kewajiban negara untuk melindungi, melestarikan dan memulihkan
lingkungan hidup secara utuh”, artinya aktivitas pembangunan yang dihasilkan
dari perencanaan tata ruang pada umumnya bernuansa pemanfaatan sumber daya alam
tanpa merusak lingkungan.
Untuk
lebih mengoptimalkan konsep penataan ruang, maka peraturan-peraturan perundang-undangan
telah banyak diterbitkan oleh pihak pemerintah. Salah satu peraturan
perundang-undangan yang mengatur penataan ruang adalah Undang-Undang No. 267
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 merupakan
undang-undang pokok yang mengatur tentang pelaksanaan penataan ruang. Keberadaan
undang-undang tersebut diharapkan selain sebagai konsep dasar hukum dalam
melaksanakan perencanaan tata ruang, juga diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan acuan pemerintah dalam penataan dan pelestarian lingkungan hidup.
1.
3 Asas dan Tujuan Penataan Ruang
Menurut
Herman Hermit (2008: 68), sebagaimana asas hukum yang paling utama yaitu
keadilan, maka arah dan kerangka pemikiran serta pendekatan-pendekatan dalam
pengaturan (substansi peraturan perundang-undangan) apa pun, termasuk Undang-Undang
Penataan Ruang, wajib dijiwai oleh asas keadilan. Adapun asas penataan ruang
menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah:
a.
keterpaduan;
b.
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
c.
keberlanjutan;
d.
keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e.
keterbukaan;
f.
kebersamaan dan kemitraan;
g.
pelindungan kepentingan umum;
h.
kepastian hukum dan keadilan; dan
i.
akuntabilitas.
Kesembilan
asas penyelenggaraan penataan ruang tersebut pada intinya merupakan norma-norma
yang diambil untuk memayungi semua kaidah-kaidah pengaturan penataan ruang. Adapun
tujuan penataan ruang menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 adalah untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a.
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan;
b.
terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c.
terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Pasal 3 Undang-Undang No. 26
Tahun 2007).
1. 4 Klasifikasi Penataan Ruang
Menurut
Hermit (2008: 68), klasifikasi penataan ruang bukan merupakan hal baru dalam
pengaturan sistem penataan ruang Indonesia. Penataan ruang diklasifikasikan
berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan kawasan, wilayah administratif,
kegiatan kawasan, dan nilai strategi kawasan. Menurut Undang-Undang No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa penataan ruang diklasifikasikan
berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan
dan nilai strategis kawasan (Pasal 4). Penataan ruang diselenggarakan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.
kondisi fisik
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana;
b.
potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; kondisi ekonomi,
sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan
c.
geostrategi,
geopolitik dan geoekonomi.
1. 5 Tata Ruang Perkotaan
Kawasan/zona di wilayah perkotaan dibagi dalam
beberapa zona sebagai berikut:
a.
Perumahan dan
permukiman;
b.
Perdagangan dan
jasa;
c.
Industri;
d.
Pendidikan;
e.
Perkantoran dan
jasa;
f.
Terminal;
g.
Wisata dan
taman rekreasi;
h.
Pertanian dan
perkebunan;
i.
Tempat
pemakaman umum;
j.
Tempat
pembuangan sampah.
Dampak dari rencana tata ruang di wilayah
perkotaan yang tidak diikuti adalah ketidakteraturan kawasan, mengakibatkan
berkembangnya kawasan kumuh yang berdampak kepada gangguan terhadap sistem
transportasi, sulitnya mengatasi dampak lingkungan yang berimplifikasi kepada
kesehatan, sulitnya mengatasi kebakaran bila terjadi kebakaran. Tata ruang atau dalam bahasa Inggrisnya land use
adalah wujud struktur ruang dan pola ruang disusun secara nasional, regional
dan lokal. Secara nasional disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang
dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota (RTRWK).
Dalam rangka klasifikasi penataan ruang
ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa
penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan,
wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan.
Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 ditegaskan
sebagai berikut:
a.
Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas
sistem wilayah dan sistem internal perkotaan;
b.
Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan
terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya;
c.
Penataan ruang berdasarkan wilayah
administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang
wilayah provinsi dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
d.
Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan
terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan
perdesaan;
e.
Penataan ruang berdasarkan nilai strategis
kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang
kawasan strategis provinsi dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
Secara umum,
karakteristik dari Rencana Tata Ruang Wilayah adalah sebagai berikut:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota merupakan
penjabaran lebih lanjut dari RTRW Nasional dan RTRW Provinsi, khususnya dalam hal pemanfaatan ruang dan perencanaan wilayah kota.
b. Rencana Tata Ruang Kota dalam penyusunannya
mengacu pada Rencana Pembangunan Lima Tahun atau sekarang dikenal dengan
istilah Rencana Strategis (Restra) Kota, khususnya yang berkaitan dengan
strategis perwilayahan pembangunan dan pemanfaatan ruang.
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota merupakan
rencana wilayah skala administrasi kota yang mencerminkan strategi pengembangan
wilayah kota dalam kurun waktu 10 tahun, yang dijabarkan dalam skala prioritas
5 tahunan, sejalan dengan pelaksanaan Propenas.
d. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota harus bersifat
partisipatif dalam arti membuka kesempatan bagi peran serta swasta dan
masyarakat melalui penjaringan aspirasi masyarakat, dinamis dan fleksibel serta
akomodatif.
2. 1. 6 Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang
Hak-hak setiap orang yang berkaitan dengan
Penataan Ruang, ditegaskan dalam Pasal 60 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, yaitu sebagai berikut:
a. Mengetahui rencana tata ruang;
b. Menikmati pertambahan nilai ruang sebagai
akibat penataan ruang;
c. Memperoleh penggantian yang layak atas
kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan
rencana tata ruang;
d. Mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang
terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. Mengajukan tuntutat pembatalan izin dan
penghentian pembangunann yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada
pejabat berwenang, dan;
f. Mengajukan gugatan ganti kerugian kepada
pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a. Menaati rencana tata ruang yang telah
ditetapkan;
b. Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin
pemanfaatan ruang dan pejabat yang berwenang;
c. Mematuhi ketetntuan yang ditetapkan dalam
persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Peran masyarakat dalam Penataan Ruang
ditegaskan dalam Pasal 65 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, yaitu sebagai berikut:
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.
(2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain
melalui:
a. Partisipasi dalam penyusunan rencana tata
ruang;
b. Partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. Partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan
ruang.
2. 2 Ruang Terbuka Hijau (RTH)
2. 2. 1 Definisi dan Pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Ruang
Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces)
suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi
(endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung
yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan,
kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot
kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi:
a.
bentuk RTH
alami, yaitu habitat liar/alami, kawasan lindung; dan
b.
bentuk RTH non
alami atau RTH binaan, yaitu pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah
raga dan pemakaman.
Berdasarkan
sifat dan karakter ekologisnya diklasi-fikasi menjadi:
a.
bentuk RTH
kawasan (areal, non linear); dan
b.
bentuk RTH
jalur (koridor, linear).
Berdasarkan
penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi:
a.
RTH kawasan
perdagangan;
b.
RTH kawasan
perindustrian;
c.
RTH kawasan permukiman;
d.
RTH kawasan pertanian;
dan
e.
RTH
kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga dan alamiah.
Status
kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi:
a.
RTH Publik,
yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh
pemerintah (pusat, daerah); dan
b.
RTH Privat atau
non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat.
2. 2. 2 Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Kegiatan-kegiatan
manusia yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan hijau mengakibatkan
perubahan pada lingkungan yang akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan
perkotaan. Kesadaran menjaga kelestarian lingkungan hijau pasti akan lebih baik
jika setiap orang mengetahui fungsi RTH bagi lingkungan perkotaan. fungsi dari
RTH secara umum bagi kota yaitu untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan dalam kota dengan sasaran untuk memaksimumkan tingkat kesejahteraan
warga kota dengan menciptakan lingkungan yang lebih baik dan sehat.
Secara
khusus RTH, baik RTH publik maupun RTH privat, memiliki fungsi utama (intrinsik)
yaitu fungsi ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural,
sosial dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini
dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan dan keberlanjutan
kota.
RTH
berfungsi ekologis yaitu menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara
fisik, harus merupakan satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk
pasti dalam suatu wilayah kota, seperti RTH untuk perlindungan sumberdaya
penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat hidupan liar.
RTH untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan RTH
pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut,
sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya,
seperti untuk keindahan, rekreasi dan pendukung arsitektur kota.
Melihat beberapa fungsi tersebut di atas, dapat diketahui pada
dasarnya RTH kota mempunyai tiga fungsi dasar yaitu:
a.
Berfungsi
secara sosial yaitu fasilitas untuk umum dengan fungsi rekreasi, pendidikan dan
olahraga serta menjalin komunikasi antar warga kota.
b.
Berfungsi
secara fisik yaitu sebagai paru-paru kota, melindungi sistem air, peredam
bunyi, pemenuhan kebutuhan visual, menahan perkembangan lahan terbangun atau
sebagai penyangga dan melindungi warga kota dari polusi udara
c.
Berfungsi
sebagai estetika yaitu pengikat antar elemen gedung dalam kota, pemberi ciri
dalam membentuk wajah kota dan unsur dalam penataan arsitektur perkotaan.
Manfaat
RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat langsung seperti mendapatkan
bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), kenyamanan fisik (teduh, segar),
keinginan dan manfaat tidak langsung seperti perlindungan tata air dan
konservasi hayati atau keanekaragaman hayati.
2. 2. 3 Pola dan Struktur Fungsional Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Pola
RTH kota merupakan struktur RTH yang ditentukan oleh hubungan fungsional
(ekologis, sosial, ekonomi, arsitektural) komponen pembentuknya. Pola RTH
terdiri dari RTH struktural dan RTH non struktural. RTH struktural merupakan
pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pembentuknya yang
mempunyai pola hierarki planalogis yang bersifat antroposentris. RTH tipe ini
didominasi oleh fungsi-fungsi non ekologis dengan struktur RTH binaan yang
berhirarki. Contohnya adalah struktur RTH berdasarkan fungsi sosial dalam
melayani kebutuhan rekreasi luar ruang (outdoor
recreation) penduduk perkotaan seperti yang diperlihatkan dalam urutan
hierakial sistem pertamanan kota (urban
park system) yang dimulai dari taman perumahan, taman lingkungan, taman kecamatan,
taman kota, taman regional, dst).
RTH
non struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar
komponen pembentuknya yang umumnya tidak mengikuti pola hierarki planologis
karena bersifat ekosentris. RTH tipe ini memiliki fungsi ekologis yang sangat
dominan dengan struktur RTH alami yang tidak berhierarki. Contohnya adalah
struktur RTH yang dibentuk oleh konfigurasi ekologis bentang alam perkotaan
tersebut, seperti RTH kawasan lindung, RTH perbukitan yang terjal, RTH sempadan
sungai, RTH sempadan danau, RTH pesisir. Untuk suatu wilayah perkotaan, maka
pola RTH kota tersebut dapat dibangun dengan mengintegrasikan dua pola RTH ini
berdasarkan bobot tertinggi pada kerawanan ekologis kota (tipologi alamiah
kota: kota lembah, kota pegunungan, kota pantai, kota pulau, dll) sehingga
dihasilkan suatu pola RTH struktural.
2. 2. 4 Karakteristik Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Beberapa karakteristik dari ruang terbuka hijau
dapat diuraikan sebagai berikut, yaitu:
a. Luasan ruang terbuka hijau, menurut
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa RTH
minimal harus memiliki luasan 30% dari luas total wilayah, dengan porsi 20%
sebagai RTH publik.
b. Bentuk ruang terbuka hijau, ada dua
bentuk RTH yaitu bentuk jalur atau memanjang dan bentuk pulau atau mengelompok.
RTH berbentuk jalur biasanya mengikuti pola ruang yang berdampingan, misalnya
jalur hijau di pinggir atau di median jalan, jalur hijau di sempadan sungai,
jalur hijau sepanjang rel kereta api, jalur hijau di bawah Saluran Udara
Tegangan Tinggi (SUTET) dan sabuk hijau kota. Sedangkan RTH yang berbentuk
mengelompok seperti taman, hutan kota, tempat pemakaman umum, pengaman bandara
dan kebun raya.
c. Elemen vegetasi atau tanaman merupakan
unsur yang dominan dalam RTH. Vegetasi dapat ditata sedemikian rupa sehingga
mampu berfungsi sebagai pembentuk ruang, pengendalian suhu udara, memperbaiki
kondisi tanah dan sebagainya. Vegetasi dapat menghadirkan estetika tertentu
yang terkesan alamiah dari garis, bentuk, warna, dan tekstur yang ada dari
tajuk, daun, batang, cabang, kulit batang, akar, bunga, buah maupun aroma yang
ditimbukan dari daun, bunga maupun buahnya. Untuk memaksimalkan fungsi RTH,
hendaknya dipilih tanaman berdasarkan beberapa pertimbangan dengan tujuan agar
tanaman dapat tumbuh baik dan dapat menanggulangi masalah lingkungan yang
muncul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar