PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
SEBAGAI KEPATUHAN HUKUM DALAM BERNEGARA
A. Latar Belakang
Sebagai
negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan
memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga
tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila
dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap
pemerintah untuk adanya check and balances. Untuk mengontrol kekuasaan
eksekutif tersebut diperlukan lembaga yudikatif atau kehakiman. Berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 UUD 1945 jo. Undang-Undang No. 4
Tahun 2004 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Salah satu
bentuk kontrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui
lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara
(PERATUN) dibentuk dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, yang kemudian dengan
adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan Undang-Undang No. 9
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 dan
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.
5 Tahun 1986. Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan
yang terakhir dibentuk Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat
tiga pilar kekuasaan negara, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif (kehakiman).
Lahirnya
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan di Indonesia
ditandai dengan disahkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 pada tanggal 29
Desember 1986. Dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut disebutkan
bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN)
adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman,
tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan
menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara
aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat.
Dengan demikian lahirnya PERATUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah
negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan
Hak Asasi Manusia (HAM).
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara diatur mengenai bagian-bagian baru pada Peradilan Tata Usaha
Negara yang sebelumnya tidak diatur oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1986,
khususnya pada Pasal 116, Bagian kelima mengenai Pelaksanaan Putusan
Pengadilan, yaitu:
1. Lembaga Upaya Paksa yaitu
berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Mengenai
penjelasan dari lembaga baru ini, belum dapat diberikan karena belum adanya
peraturan pelaksanaan yang mengatur tentang struktur, tugas dan wewenang dari
juru sita/juru sita pengganti, untuk itu Mahkamah Agung perlu segera
mengeluarkan pedoman pelaksanaan.
2. Pengumuman nama dan jabatan
pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan pada mass media setempat.
3. Pengumuman telah dapat
dilakukan atau diterapkan atas biaya permohonan eksekusi.
Dalam hal putusan Pengadilan berupa pengabulan gugatan
(Pasal 97 ayat (7) huruf b), maka kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara meliputi:
1. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan;
2. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang baru;
3. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara
dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3;
4. Membayar ganti rugi;
5. Melakukan rehabilitasi.
Khusus mengenai Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara, Pasal 116 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan sebagai berikut:
(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera
Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam
tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari.
(2) Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
Dari
ketentuan di atas, jika dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan setelah putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikirimkan, tergugat
tidak melaksanakan kewajiban untuk melakukan pencabutan Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersangkutan, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan
itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Indonesia
sebagai negara hukum yang salah satunya terdapat sistem peradilan yang bebas,
dimana dalam sistem peradilan yang bebas pelaksanaan suatu putusan pengadilan
merupakan hal yang terpenting demi menegakkan supremasi hukum dan kepastian
hukum. Seharusnya apapun resiko yang didapat suatu putusan pengadilan wajiblah
untuk dilaksanakan. Secara hukum putusan pengadilan TUN Bandar Lampung ini
harus dilaksanakan demi menegakkan supremasi hukum dan menjamin kepastian
hukum.
Selama
belasan tahun eksistensi PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) di Indonesia,
dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyaknya
putusan PTUN yang tidak dapat dieksekusi telah menimbulkan pesimisme dan
apatisme dalam masyarakat. Masalahnya adalah tidak adanya kekuatan eksekutorial
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
Kondisi ini
merupakan suatu fakta yang memprihatinkan bahwa keberadaan PTUN belum dapat
membawa keadilan bagi masyarakat dalam lingkup administratif pemerintahan.
Prinsip adanya peradilan TUN, untuk menempatkan kontrol yudisial dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Bila suatu putusan PTUN tidak memiliki kekuatan eksekutorial, bagaimana
mungkin hukum dan masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintah yang
dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN.
Permasalahan
eksekusi putusan PTUN ini juga dapat timbul terkait dengan diberlakukannya
otonomi daerah, karena dengan adanya otonomi daerah seluruh pejabat kepala
daerah di tingkat kabupaten/kota memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola
daerahnya dan hal tersebut pasti menggunakan metode keputusan keputusan
administratif.
B. Permasalahan
B. Sengketa Tata Usaha Negara
Pasal
1 angka 10 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang
menyebutkan:
”Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan
atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Penyelesaian
sengketa tata usaha negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:
1.
Melalui Upaya Administratif
Upaya
Administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan
masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hukum perdata
apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan tata usaha negara, dalam
lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri. Bentuk upaya administratif,
yaitu:
a.
Keberatan,
yaitu Prosedur (upaya administrasi) yang dapat ditempuh oleh seseorang atau
badan hukum perdata yang tidak puas terhadap KTUN yang penyelesaiaan sengketa
TUN sebagai akibat dikeluarkannya KTUN tersebut dilakukan sendiri oleh Badan
atau Pejabat TUN mengeluarkan keputusan itu.
b.
Banding
Administratif, yaitu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan
hukum perdata yang tidak puas terhadap KTUN yang penyelesaiaan sengketa TUN
sebagai akibat dikeluarkannya KTUN tersebut dilakukan oleh atasan dari Badan
atau Pejabat TUN mengeluarkan Keputusan itu atau instansi lain dari Badan atau
Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan yang tersebut.
2. Melalui Gugatan
Pada
waktu Pasal 53 ayat (1) belum diadakan perubahan dengan Undang-Undang No. 9
Tahun 2004, dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991 telah diberikan
petunjuk lebih lanjut bahwa gugatan dapat juga diajukan melalui pos. Dengan
demikian pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), dapat
dilakukan dengan cara sebgai berikut:
a.
Gugatan
diajukan langsung oleh penggugat atau
b.
Gugatan
diajukan melalui pos oleh penggugat.
Apabila
di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk
menyelesaikan sengketa tata usaha negara tersebut melalui upaya administratif,
maka seseorang atau badan hukum perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara yang berwenang dengan memperhatikan kompetensi relatifnya.
Pihak
yang bersengketa dalam Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu:
a.
Penggugat
Dalam
ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 dirumuskan bahwa Penggugat
adalah orang atau Badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
Pengadilan yang berwenang yang berisikan tuntutan agar Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa
disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.
Dari
ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa dalam sengketa tata usaha negara, yang
dapat bertindak sebagai penggugat adalah:
a)
Orang
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara;
b)
Badan
Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha
Negara;
c)
Berdasarkan
yurisprudensi putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara tanggal 9 Desember 1994 Nomor 088/G/1994
Piutang/PTUN Surabaya bahwa organisasi lingkungan dapat bertindak sebagai
penggugat dengan mengatasnamakan kepentingan umum jika organisasi tersebut memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1)
Tujuan
dari organisasi ini tersebut memang melindungi lingkungan hidup atau menjaga
kelestarian alam, tujuan ini harus tercantum dan dapat dilihat dalam anggaran
dasar organisasi yang bersangkutan;
2)
Organisasi
tersebut harus berbentuk badan hukum atau yayasan;
3)
Organisasi
tersebut harus secara berkesinambungan menunjukkan adanya kepedulian terhadap
perlindungan lingkungan hidup yang secara nyata dimasyarakat;
4)
Organisasi
tersebut harus cukup representatif.
b. Tergugat
Pihak
Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya
dengan ketentuan sebagai berikut:
a)
Jika
wewenang diberikan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah atribusi atau
delegasi, maka yang menjadi tergugat adalah badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang memperoleh wewenang tersebut untuk mengeluarkan KTUN yang
disengketakan;
b)
Jika
wewenang yang diberikan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu adalah
mandat, maka yang menjadi tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang memberikan wewenang kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan KTUN yang disengketakan.
c. Pihak Ketiga
Selama
pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak
lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan
mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa
Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai:
a)
pihak
yang membela haknya;
b)
atau
peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
Apabila
pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikutsertakan selama waktu
pemeriksaan sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan
gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada
Pengadilan yang mengadili sengketa tersebut pada tingkat pertama. Keikutsertaan
pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara yang di dalam
kepustakaan biasa disebut intervensi.
C. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sama
seperti hukum acara perdata juga dikenal adanya dua (2) putusan, yaitu:
a.
Putusan
yang bukan putusan akhir
b.
Putusan
akhir.
Adanya putusan yang disebut putusan yang bukan putusan
akhir tersebut dapat disimpulkan dari perumusan Pasal 113 ayat (1) dan Pasal
124, yaitu sebagai berikut:
Pasal 113 ayat (1): “Putusan pengadilan yang bukan
putusan akhir, meskipun diucapkan dalam sidang, tidak dibuat putusan tersendiri,
melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang.”
Pasal 124: “Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
bukan putusan terakhir, hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama
dengan putusan akhir”.
Putusan yang bukan putusan akhir adalah putusan yang
dijatuhkan oleh hakim sebelum pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dinyatakan
selesai. Tujuan dari dijatuhkannya putusan yang bukan putusan akhir adalah
untuk memungkinkan atau mempermudah pelanjutan pemeriksaan sengketa Tata Usaha
Negara di sidang pengadilan.
Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, yang
termasuk putusan yang bukan putusan akhir, yaitu:
a.
Putusan
hakim yang memerintahkan kepada Penggugat atau Tergugat untuk datang menghadap
sendiri ke pemeriksaan sidang pengadilan, meskipun sudah diwakili oleh seorang
kuasa.
b.
Putusan
Hakim Ketua Sidang yang mengangkat seorang ahli alih bahasa atau orang yang
pandai bergaul dengan Penggugat atau saksi sebagai juru bahasa.
c.
Putusan
Hakim Ketua Sidang yang menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli atas
permintaan Penggugat dan Tergugat atau Penggugat atau Tergugat atau karena
jabatannya.
d.
Putusan
hakim mengenai beban pembuktian.
Dalam kepustatakaan Hukum Acara Perdata contoh putusan
yang bukan putusan akhir pada butir a dinamakan putusan praepatoir, yaitu
putusan yang dijatuhkan hakim untuk mempersiapkan dan mengatur mengenai
pemeriksaan perkara. Mengenai bentuk putusan yang bukan putusan akhir,
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 113 ayat (1), putusan tidak dibuat sebagai
putusan tersendiri, melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang.
Dengan demikian bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir, tidak dibuat
seperti halnya putusan akhir yang merupakan surat atau dokumen tersendiri terlepas dari berita acara sidang.
Barang siapa yang mempunyai kepentingan dengan putusan yang bukan putusan
akhir, yang bersangkutan dapat meminta salinan autentik dari berita acara
sidang yang memuat putusan tersebut kepada panitera.
Terdapat beberapa putusan yang bukan putusan akhir yang
perlu mendapatkan perhatian, yaitu:
a.
Putusan
hakim yang dijatuhkan karena jabatannya yang menyatakan tidak mempunyai
kewenangan absolut;
b.
Putusan
hakim yang mengabulkan eksepsi tentang kewenangan absolut yang dijatuhkan oleh
tergugat;
c.
Putusan
hakim yang mengabulkan eksepsi tentang kewenangan relatif yang diajukan oleh
Tergugat (R. Wiyono. 2008: 191).
Ketiga putusan hakim tersebut dijatuhkan sebelum pokok
perkara diperiksa. Sedangkan putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh
hakim setelah pemeriksaan sengketa tata usaha negara selesai yang mengakhiri
sengketa tersebut. Dari ketentuan dalam Pasal 97 ayat (2) diketahui bahwa
putusan akhir dapat berupa:
a.
Gugatan
ditolak
Putusan
yang berupa gugatan yang ditolak adalah putusan yang menyatakan bahwa Keputusan
Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa tata usaha negara adalah Keputusan
Tata Usaha Negara yang tidak dinyatakan batal atau sah.
b.
Gugatan
tidak diterima
Putusan
yang berupa gugatan tidak diterima adalah putusan yang menyatakan syarat-syarat
yang telah ditentukan tidak dipenuhi oleh gugatan yang diajukan oleh
Pengggugat. Diktum putusan ini sebenernya bersifat deklatoir, yang tidak
membawa perubahan apa-apa dalam hubungan hukum yang ada antara penggugat dengan
tergugat.
c.
Gugatan
gugur
Putusan
yang berupa ggatan gugur adalah putusn yang dijatuhkan hakim karena penggugat
tidak hadir dalam beberapa kali sidang, meskipun telah dipanggil denagn patut
atau penggugat telah meninggal dunia.
d.
Gugatan
dikabulkan
Putusan
yang berupa gugatan dikabulkan adalah putusan yang menyatakan Keputusan Tata
Usaha Negara yang menimbulkan Sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata
Usaha Negara yang dinyatakan tidak sah atau batal.
Terhadap gugatan yang dikabulkan, maka berdasarkan
Pasal 97 ayat (9) pengadilan akan menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus
dilakukan kepada Badan atau Pejabat TUN selaku Tergugat, yaitu berupa:
a.
Pencabutan
Keputusan TUN yang bersangkutan.
b.
Pencabutan
Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru.
c.
Penerbitan
Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.
Di samping kewajiban-kewajban tersebut, pengadilan juga
dapat membebankan kewajiban kepada Tergugat untuk membayar ganti rugi dan
pemberian rehabilitasi dalam hal menyangkut sengketa kepegawaian.
Mengenai isi putusan, Pasal 109 ayat (1) ditentukan
bahwa isi putusan harus memuat:
a.
Kepala
putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
b.
Nama,
jabatan, kewarganegaraan, tempat kediamana, atau tempat kedudukan para pihak
yang bersengketa;
c.
Ringkasan
gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d.
Pertimbangan
dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan
selama sengketa itu diperiksa;
e.
Alasan
hukum yang menjadi dasar putusan;
f.
Amar
putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g.
Hari,
tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan
tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana
dimaksud di atas, dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan (Pasal 109 ayat
(2)). Kata ”dapat” tersebut mengandung arti bahwa kalau tidak terpenuhinya
salah satu ketentuan diatas tidak secara otomatis menyebabkan putusan itu
menjadi batal.
Agar suatu putusan menjadi batal, harus ada suatu
permohonan dari pihak yang berkepentingan. Misalnya jika penggugat mempunyai
kehendak agar putusan menjadi batal, maka dalam memori banding atau memori
kasasi harus dimuat dengan tegas agar putusan dibatalkan, karena tidak
terpenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat
(1).
Dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara dikenal adanya
beberapa kekuatan hukum dari putusan hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, yaitu:
a. Kekuatan pembuktian
Kekuatan pembuktian dari putusan hakim adalah kekuatan
hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa dengan putusan tersebut
telah diperoleh bukti tentang kepastian sesuatu. Putusan hakim adalah akta
autentik, sehingga putusan hakim tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna (Pasal 1868 jo Pasal 1870 KUH Perdata).
b. Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat dari putusan hakim adalah kekuatan
hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa putusan tersebut mengikat
yang berkepentingan untuk menaati dan melaksanakannya. Karena dalam Peradilan
Tata Usaha Negara berlaku asas erga omnes artinya putusan berlaku bagi
semua, maka yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan adalah semua orang
dan/atau semua badan hukum, baik badan hukum perdata maupun badan hukum publik.
c. Kekuatan eksekutorial.
Kekuatan eksekutorial dari putusan hakim adalah
kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa putusan tersebut
dapat dilaksanakan. Sebagai syarat bahwa suatu putusan hakim memperoleh
kekuatan eksekutorial adalah dicantumkannya irah-irah ”Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada putusan hakim tersebut.
D. Upaya Hukum Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Upaya hukum adalah alat atau sarana hukum untuk
memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan pengailan. Upaya hukum yang dimaksud
adalah
a.
Upaya
hukum biasa yang terdiri dari:
a)
Perlawanan
terhadap penetapan dismissal;
b)
Banding;
c)
Kasasi.
b.
Upaya
hukum luar biasa yang terdiri dari:
a)
Peninjaun
kembali;
b)
Kasasi
demi kepentingan hukum.
Istilah upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa
tidak dipergunakan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1986. Kedua istilah ini
diambil dari istilah yang dipergunakan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (R. Wiyono. 2008: 202).
Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan
yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122
Undang-Undang Peratun terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan
pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (PTTUN).
Menurut Pasal 122, yang dapat mengajukan permohonan
pemeriksaan di tingkat banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
adalah penggugat dan/atau tergugat. Pihak ketiga yang masuk dalam sengketa Tata
Usaha Negara dan dikabulkan permohonannya oleh pengadilan sebagai penggugat
intervensi menurut Pasal 83 ayat (3) dapat juga mengajukan permohonan di
tingkat banding. Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh
pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang
menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.
Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada
kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor
Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut.
Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori
banding, disertai surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha
Negara yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra
memori banding diberikan kepada pihak lawan dengan perantara Panitera
Pengadilan. Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan
sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi
TUN berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap,
maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan
tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan. Menurut Indroharto pemeriksaan di
tingkat banding sifatnya adalah devolutif, artinya seluruh pemeriksaan perkara
dipindahkan dan diulang oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (Indroharto.
1993: 223)
Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan
telah diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera
Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat
pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam
pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding
dapat dilakukan setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu
diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut
permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan,
walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau.
Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat
dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan di tingkat
Kasasi diatur dalam Pasal 131 Undang-Undang Peratun, yang menyebutkan bahwa
pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat
dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan
ini dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Jo.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Menurut Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung,
pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan di lingkungan
Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, dilakukan menurut ketentuan undang-undang ini. Dengan demikian sama halnya
dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan
Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada
Mahkamah Agung.
Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak
masih belum puas terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi,
maka dapat ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah
Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 132 Undang-Undang
Peratun, yang menyebutkan bahwa:
Ayat
(1): “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.”
Ayat
(2): “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.”
E. Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Sebagai
negara yang berdasarkan atas hukum (recht staat) tentunya tindakan dari
pemerintah tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dibutuhkan
suatu pengujian yuridis terhadap tindakan pemerintah dan pengujian yang
dilakukan terhadap tindakan pemerintah itu harus dapat menghasilkan
perlindungan bagi kepentingan rakyat. Apabila tindakan tersebut bertentangan
dengan kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat tidak sewenang-wenang dapat
dikorbankan begitu saja. Demikian juga semangat prinsip dari PTUN tersebut
harus diterapkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan kewenangan yang besar
dan luas menimbulkan potensi penyelewenangan seperti “abuse of power”
dan “excessive power” sehingga dibutuhkan pengawasan yang serius dalam
hal ini.
Salah satu
yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan PTUN adalah karena tidak
terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam pelaksanaan putusan
PTUN sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif
dari pejabat TUN. Dengan penegoran sistem hirarki seperti diatur dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1996 terbukti tidak efektif dalam pelaksaan putusan
PTUN.
Salah satu
yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan PTUN adalah karena tidak
terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam pelaksanaan putusan
PTUN sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif
dari pejabat TUN. Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 116
ayat (4) dan ayat (5) yaitu adanya penjatuhan sanksi bagi pejabat TUN yang
tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaran
uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif serta publikasi di
media cetak. Dalam perkembang selanjutnya dilakukan perubahan kedua terhadap Undang-Undang
No. 5 Tahun 1986, dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 dimana di dalam Pasal
116 ayat (6) di samping diatur upaya-upaya sebagaimana diatur dalam
undang-undang sebelumnya, diatur pula mengenai pelaporan ketidaktaatan pejabat
Tata Usaha Negara untuk melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
tersebut kepada Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi serta
kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan. Namun
demikian masih banyak kendala dalam pelaksanaan upaya-upaya pemaksa tersebut
baik pelaksanaan dwangsom/uang paksa maupun sanksi admistratif.
Dalam
proses hukum acara TUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta dari suatu putusan
akhir pengadilan. Hanya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap yang dapat dilaksanakan. Putusan Pengadilan yang telah mempunyai hukum
tetap adalah:
1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang sudah tidak
dapat dilawan atau dimintakan pemeriksaan banding lagi;
2. Putusan pengadilan tinggi yang sudah tidak dimintakan
pemeriksaan kasasi lagi.
3. Putusan MA dalam tingkat kasasi.
Pelaksanaan
Putusan TUN dilakukan melalui surat tercatat, yang dikirim oleh panitera
pengadilan TUN setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadili pada
tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
Setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan tersebut dikirim dan
tergugat tidak secara suka rela melaksanakan isi putusan maka keputusan TUN
yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Masalahnya apa
dengan tidak mempunyai kekuatan hukum suatu putusan TUN, telah memenuhi rasa
keadilan masyarakat? Banyak kasus, misalnya dalam hal Putusan TUN untuk
membongkar suatu bangunan, pada saat Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara
yang menyatakan tidak sahnya keputusan pejabatan TUN tersebut,ternyata bangunan
tersebut telah dibongkar. Pejabat TUN tidak mau secara sukarela menjalanankan
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, maka terjadi eksekusi otomatis setelah 60
(enam puluh) hari kerja Putusan Pejabat TUN tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum. Namun dengan eksekusi otomatis ini, tidak mengembalikan juga kerugian
masyarakat atas telah dibongkarnya bangunan tersebut.
Sifat
paksaan riil seperti penyanderaan dan penghukuman denda paksa kepada pejabat
TUN tidak dikenal dalam Hukum Acara TUN, oleh karenanya pelaksanaaan paksaan
terhadap Pejabat TUN untuk melaksanakan putusan TUN merupakan kesukarelaan
Pejabat TUN yang bersangkutan. Apabila paksaan ini dimungkinkan harus diingat
bahwa:
1. Harta benda yang dipergunakan untuk kepentingan umum
tidak dapat diletakan dalam sitaan eksekusi.
2. Memperoleh kuasa untuk melaksanakan sendiri atas beban
pemerintah (pihak tereksekusi) akan merupakan hal yang bertentangan dengan asas
legalitas yang mengatakan bahwa berbuat sesuatu atau memutuskan sesuatu
berdasarkan hukum publik itu semata-mata hanya dapat dilakukan oleh Badan atau
pejabat TUN yang diberi kewenangan atau berdasar ketentuan undang-undang.
3. Merampas kebebasan orang-orang yang sedang memangku
jabatan pemerintahan sebagai sarana paksaan akan berakibat pantulan yang hebat
terhadap jalannya pemerintahan.
4. Pemerintah itu selalu dianggap dapat dan mampu
membayar (solvabel).
Menurut
sifatnya Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa putusan deklaratoir
yaitu yang bersifat menerangkan saja. Putusan konstitutif yaitu yang bersifat meniadakan
atau menimbulkan keadaan hukum yang baru dan putusan condemnatoir yaitu
bersifat penghukuman atau berisi kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu
terhadap yang kalah. Menurut ketentuan Pasal 97 ayat (7) Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, putusan Peradilan Tata Usaha
Negara dapat berupa: Gugatan ditolak, Gugatan dikabulkan, Gugatan tidak
diterima dan Gugatan gugur. Dari macam isi dan sifat putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara tersebut tidak semua putusan dapat dikenakan Upaya Paksa melainkan
hanya putusan putusan yang memenuhi syarat saja, antara lain:
1. Putusan yang menyatakan gugatan dikabulkan, yaitu
apabila dari hasil pemeriksaan di persidangan ternyata dalil-dalil dari posita
gugatan Penggugat telah terbukti secara formal maupun materiil dan telah dapat
mendukung petitum yang dikemukakan Penggugat;
2. Putusan bersifat condemnatoir, yaitu putusan
yang sifatnya memberikan beban atau kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu
kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara seperti:
a.
Kewajiban
mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan batal/tidak sah.
b.
Kewajiban
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara badan/pengganti.
c.
Kewajiban
mencabut dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru.
d.
Kewajiban
membayar ganti rugi.
e.
Kewajiban
melaksanakan rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian.
3. Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht
Van Gewijsde), yaitu putusan pengadilan yang tidak dapat diterapkan
upaya hukum lagi terhadap putusan tersebut.
Pelaksanaan suatu putusan pengadilan dalam kehidupan
bernegara khususnya negara hukum sangat penting demi menjamin kepastian hukum.
Suatu keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap
tidak dapat diganggu gugat lagi, maksudnya dapat dilaksanakan dan harus ditaati
oleh siapa pun juga termasuk Pemerintah. Hanya putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (kracht van gewisde) yang dapat
dilaksanakan.
Jangka waktu penghitungan suatu putusan yang telah
dibacakan sampai dengan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap dalam
pengadilan Tata Usaha Negara mempunyai karakteristik yang berbeda dengan hukum
acara Perdata, yang akhirnya akan bermuara pada eksekusi dari putusan tersebut.
Yang dimaksud dengan eksekusi sendiri adalah pelaksanaan putusan pengadilan (executie).
Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh
Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya
dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas hari).
Meskipun putusan Pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, para pihak
yang berperkara dapat memperoleh salinan putusan yang dibubuhi catatan Panitera
bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Tenggang waktu 14
(empat belas) hari di atas, dihitung sejak saat putusan Pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Pasal 116 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyatakan
sebagai berikut:
(1)
Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan
setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama
selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari.
(2)
Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a,
maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi.
(3)
Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c dan kemudian setelah 3
(tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya penggugat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan
tersebut.
(4)
Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administratif.
(5)
Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak
terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara diatur mengenai bagian-bagian baru pada Peradilan Tata Usaha
Negara yang sebelumnya tidak diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986,
khususnya pada Pasal 116, Bagian kelima mengenai Pelaksanaan Putusan Pengadilan
yaitu:
a.
Lembaga
Upaya Paksa
Berupa
pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Mengenai
penjelasan dari lembaga baru ini, belum dapat diberikan karena belum adanya
peraturan pelaksanaan yang mengatur tentang struktur, tugas dan wewenang dari
Jurusita/Jurusita Pengganti, untuk itu Mahkamah Agung perlu segera mengeluarkan
pedoman pelaksanaan.
b.
Pengumuman
nama dan jabatan pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan pada mass
media setempat. Pengumuman telah dapat dilakukan atau diterapkan atas biaya
permohonan eksekusi.
Selanjutnya perlu dicatat dan diperhatikan adanya suatu
prinsip, bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan
tetap, pada dasarnya merupakan keputusan hukum yang bersifat hukum public dan
karena itu berlaku juga bagi pihak-pihak luar yang bersengketa (erga omnes)
Dalam hal putusan Pengadilan berupa pengabulan gugatan
(Pasal 97 ayat (7) huruf b), maka kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara meliputi:
a.
Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan;
b.
Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang baru
c.
Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal
gugatan didasarkan pada pasal 3;
d.
Membayar ganti rugi;
e.
Melakukan rehabilitasi.
Pasal 97 mengatur mengenai macam-macam bentuk putusan
yaitu sebagai berikut:
(7) Putusan Pengadilan dapat berupa:
a.
gugatan ditolak
b.
gugatan dikabulkan
c.
gugatan tidak diterima
d.
gugatan gugur
(8) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan
Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
(9) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)
berupa:
a.
Pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau
b.
Pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata
Usaha Negara yang baru; atau
c.
Penerbitan
Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3.
(10) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.
Jika dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan setelah
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikirimkan,
tergugat tidak melaksanakan kewajiban untuk melakukan pencabutan Keputusan Tata
Usaha Negara yang bersangkutan, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan
kewajibannya yang berupa:
a.
Pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang
baru.
b.
Penerbitan
Keputusan Tata Usaha Negara yang sebelumnya tidak ada (gugatan atas dasar Pasal
3).
Kemudian setelah tenggang waktu 3 bulan ternyata
kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka tindakan yang dapat dilakukan
oleh penggugat ialah mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha
Negara (tingkat pertama) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan
putusan pengadilan tersebut.
Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakan
kewajiban tersebut, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi
atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan yang bersangkutan dalam
waktu 2 (dua) bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus
sudah memerintahkan pejabat (tergugat) tersebut melaksanakan putusan pengadilan
tersebut.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 119
dapat diketahui bahwa yang diberikan kewajiban untuk mengawasi eksekusi putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap adalah ketua
pengadilan. Ketua pengadilan yang dimaksud di sini adalah ketua pengadilan yang
mengadili Sengketa Tata Usaha Negara pada tingkat pertama. oleh karena itu,
dapat dimengerti jika Ketua Pengadilan diberikan beberapa wewenang sebagaiman
dimaksud dalam Pasal 116 ayat (4), ayat (5), ayat (6) ayat (7),dan Pasal 117
ayat (4).
F. Kesimpulan
Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sama seperti
hukum acara perdata juga dikenal adanya dua (2) putusan, yaitu:
c.
Putusan
yang bukan putusan akhir
d.
Putusan
akhir.
Adanya putusan yang disebut putusan yang bukan putusan
akhir tersebut dapat disimpulkan dari perumusan Pasal 113 ayat (1) dan Pasal
124, yaitu sebagai berikut:
Pasal 113 ayat (1): “Putusan pengadilan yang bukan
putusan akhir, meskipun diucapkan dalam sidang, tidak dibuat putusan
tersendiri, melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang.”
Pasal 124: “Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
bukan putusan terakhir, hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama
dengan putusan akhir”.
Putusan yang bukan putusan akhir adalah putusan yang
dijatuhkan oleh hakim sebelum pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dinyatakan
selesai. Tujuan dari dijatuhkannya putusan yang bukan putusan akhir adalah
untuk memungkinkan atau mempermudah pelanjutan pemeriksaan sengketa Tata Usaha
Negara di sidang pengadilan.
Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, yang
termasuk putusan yang bukan putusan akhir, yaitu:
e.
Putusan
hakim yang memerintahkan kepada Penggugat atau Tergugat untuk datang menghadap
sendiri ke pemeriksaan sidang pengadilan, meskipun sudah diwakili oleh seorang
kuasa.
f.
Putusan
Hakim Ketua Sidang yang mengangkat seorang ahli alih bahasa atau orang yang
pandai bergaul dengan Penggugat atau saksi sebagai juru bahasa.
g.
Putusan
Hakim Ketua Sidang yang menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli atas
permintaan Penggugat dan Tergugat atau Penggugat atau Tergugat atau karena
jabatannya.
h.
Putusan
hakim mengenai beban pembuktian.
Pelaksanaan suatu putusan pengadilan dalam kehidupan
bernegara khususnya negara hukum sangat penting demi menjamin kepastian hukum.
Suatu keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap
tidak dapat diganggu gugat lagi, maksudnya dapat dilaksanakan dan harus ditaati
oleh siapa pun juga termasuk Pemerintah. Hanya putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (kracht van gewisde) yang dapat
dilaksanakan.
Jangka waktu penghitungan suatu putusan yang telah
dibacakan sampai dengan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap dalam
pengadilan Tata Usaha Negara mempunyai karakteristik yang berbeda dengan hukum
acara Perdata, yang akhirnya akan bermuara pada eksekusi dari putusan tersebut.
Yang dimaksud dengan eksekusi sendiri adalah pelaksanaan putusan pengadilan (executie).
Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh
Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya
dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas hari).
Meskipun putusan Pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, para pihak
yang berperkara dapat memperoleh salinan putusan yang dibubuhi catatan Panitera
bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Tenggang waktu 14
(empat belas) hari di atas, dihitung sejak saat putusan Pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
G. Rekomendasi
Sebaiknya negara dan pejabat tata usaha negara wajib
melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara khususnya yang telah memiliki
kekuatan hukum yang tetap demi menjamin kepastian hukum dan supremasi hukum di
Indonesia. Para pejabat tata usaha negara dalam mengeluarkan suatu keputusan tata
usaha negara harus memperhatikan asas-asas
umum pemerintahan yang baik, misalnya asas kecermatan dan asas kepastian hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Hadjon,
Philipus M. 2005. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Hamidi,
Jazim. 1999. Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan
Pemerintahan Yang Layak (AAUPPL) di Lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Harahap,
Yahya. 1997. Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia. Zahir
Trading Co., Medan
Indroharto, 1993. Usaha
memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara,
Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Kaligis, O.C. 1999. Praktik-Praktik Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia,
Alumni,
Bandung.
Marbun, S.F. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di
Indonesia. Penerbit
Liberty, Yogyakarta.
----------------. 2003. Peradilan Tata Usaha Negara,
Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Muchsan, 2008. Bahan Kuliah Hukum Tata Usaha Negara,
Magister Hukum
UGM, Yogyakarta.
Nasir, M. 2003. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara. Djambatan,
Jakarta.
Prodjohamidjojo,
Martiman. 1996, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Ridwan, H. R. 2002. Hukum Administrasi Negara.
UII Press, Yogyakarta.
Sayekti, Sri. 1999. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara (Buku Ajar),
Universitas
Lampung, Bandar Lampung.
Wiyono, R. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Sinar Grafika,
Jakarta.
Wijoyo,
Suparto. 1997, Karakteristik Hukum Acara Peradilan
Administratif,
Airlanggga University Press, Yagyakarta.
Peraturan
perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang
Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-
Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Borgata Hotel Casino & Spa - JTM Hub
BalasHapusBorgata Hotel Casino & Spa is a resort in Atlantic 대전광역 출장마사지 City, New 경산 출장마사지 Jersey. The casino has been 충청북도 출장안마 open since June 2013 남양주 출장마사지 and is 계룡 출장안마 open daily 24 hours.