PERLINDUNGAN
KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DARI SUDUT PANDANG VIKTIMOLOGI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan viktimologi suatu negara merupakan
suatu hasil interaksi akibat adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan
saling mempengaruhi yang penting sekarang adalah mencari fenomena yang relevan,
yang mempengaruhi pengembangan viktimologi, yang menjadi partisipan pendukung
atau penghambat pengembangan viktimologi di suatu negara. Salah satu faktor
pendukung utama yang mempengaruhi kuat pengembangan viktimologi di suatu negara
adalah pandangan hidup tertentu bangsa
negara tersebut. Diharapkan adanya keserasian dan keselarasan antara pandangan
hidup tersebut dengan viktimologi yang akan dikembangkan. Misalnya: pandangan
hidup tersebut harus merupakan dasar, landasan pemikiran, konsep-konsep dalam viktimologi
yang dikembangkan; konsep-konsep yang ada dalam viktimologi dapat diterima oleh
sebab dapat bermanfaat untuk pelaksanaan pandangan hidup tersebut dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada pandangan hidup tersebut (Arif Gosita, 1993).
Pandangan, pemikiran, ideologi yang baru timbul
dari dalam negeri atau yang berasal dari luar negeri harus dikaji, diuji dengan
pandangan hidup yang telah diterima oleh bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Jadi yang dipermasalahkan sekarang adalah, apakah yang dianggap baru tersebut
menurut Pancasila adalah rasional, dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat.
Hal ini tentunya juga berlaku untuk viktimologi yang dianggap sebagai suatu
yang baru dan ingin dikembangkan. Dengan demikian, maka dicari sekarang
pemikiran-pemikiran mana yang terdapat dalam pandangan hidup asli tersebut yang
dapat mendukung pengembangan viktimologi.
Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk
masalah penyelesaian viktimisasi kriminal. Pendapat: viktimologi dipergunakan
dalam keputusan: peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap pelaku
kriminal. Mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan kriminal,
merupakan juga studi, mengenai hak dan kewajiban asasi manusia. Dari apa yang
telah dikemukakan dapatlah sedikit banyak diketahui bahwa manfaat dan tujuan
viktimologi adalah antara lain untuk meringankan kepedihan penderitaan dari
orang yang menjadi korban kejahatan. Penderitaan dalam arti menjadi korban
jangka pendek dan jangka panjang yang berupa kerugian fisik, mental maupun
moral, sosial, ekonomis, kerugian yang
hampir sama sekali dilupakan, diabaikan oleh kontrol sosial yang
melembaga seperti penegak hukum Penuntut umum, pengadilan ,petugas-petugas
probation, pembinaan, pemasyarakatan dan sebagainya.
Korban atau pihak yang menderita sebagai anggota
masyarakat, wajib ikut serta dalam usaha penegakan hukum, dengan memberikan
kesaksian. Korban sebagai saksi dimanfaatkan oleh jaksa untuk membuktikan
kesalahan si pelaku sesuai dengan sistem peradilan pidana yang berlaku demi
penegakan hukum. Sebetulnya korban/pihak korban merupakan salah satu pihak yang
mencapai keadilan di pengadilan. Tetapi dalam keputusan pengadilan tersebut
yang dimulai dengan kata-kata: “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”, tidak dicantumkan keputusan mengenai pemberian ganti kerugian bagi pihak
korban.
Kasus perkosaan yang terjadi pada tahun 2009
sebanyak 105 kasus, kasus pemerkosaan justru lebih banyak dilakukan masyarakat
dengan strata sosial dan intelektual tinggi. Korban terbanyak adalah pembantu
rumah tangga dan anak yang merupakan keponakan atau saudara teman. Jumlah kasus
perkosaan pada tahun 2009 sudah jauh menurun dibandingkan dengan jumlah kasus
sebelum tahun 2003 (Sumber : LSM DAMAR). Salah satu kasus pemerkosaan di Kota
Bandar Lampung, yaitu kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh Sulaiman Bin Kasma
kepada anak di bawah umur. Sulaiman Bin Kasma dalam persidangan terbukti
melakukan tindak pidana pemerkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan divonnis dengan pidana 10
(sepuluh) tahun penjara dan denda Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)/subsidair
3 (tiga) bulan kurungan.
Viktimologi dapat dirumuskan sebagai suatu
studi yang mempelajari masalah korban, merupakan suatu masalah manusia sebagai
suatu kenyataan sosial. Di sini yang dimaksud dengan korban dan yang
menimbulkan korban dapat berupa seorang individu, suatu kelompok, korporasi
swasta atau pemerintah.
Sedangkan yang dimaksud dengan akibat-akibat
penimbulan korban, adalah sikap atau tindakan-tindakan terhadap pihak korban
dan atau pihak pelaku, serta mereka yang secara langsung atau tidak langsung
terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan. Sikap dan tindakan yang diambil
dapat pula merupakan berbagai macam kepedihan dan penderitaan bagi yang
bersangkutan, seperti misalnya: pemberian imbalan hukuman yang berlebihan, di
luar kemampuan untuk dihukum pihak pelaku; pemberian hukuman secara kolektif
pada suatu kelompok oleh karena seseorang anggota kelompok tersebut telah
melakukan suatu kejahatan. Jadi, seorang yang melakukan kejahatan yang lain
ikut menerima hukuman, pihak korban setelah menderita akibat perbuatan orang
lain, tidak mendapatkan pelayanan ganti rugi atas penderitaannya. Penentuan
sikap dan pengambilan tindakan tertentu tidak selalu menyelesaikan
permasalahan, menegakkan keadilan dan mendatangkan kesejahteraan pada yang
bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis akan
membahas suatu masalah yang erat kaitannya dengan viktimologi dalam bentuk
makalah dengan judul: “Perlindungan
Korban Tindak Pidana Perkosaan Dari Sudut Pandang Viktimologi”.
B. Permasalahan
Sebagai pembatasan masalah dalam
penulisan ini, dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah,
yaitu sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah pengaturan mengenai
korban kejahatan dalam viktimologi?
2.
Bagaimanakah perlindungan korban tindak pidana perkosaan dari
sudut pandang viktimologi?
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari penelitian ini
adalah kajian bidang Hukum dan Viktimologi pada umumnya dan khususnya mengenai perlindungan korban tindak pidana perkosaan dari
sudut pandang viktimologi.
D. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk:
1.
Mengetahui pengaturan korban
kejahatan dalam viktimologi.
2.
Mengetahui perlindungan korban tindak pidana perkosaan dari
sudut pandang viktimologi.
E. Metode Penelitian
Penulisan makalah ini menggunakan
metode studi pustaka dalam pengumpulan bahan yang dibutuhkan. Bahan-bahan
referensi yang digunakan dalam pembuatan makalah ini berasal dari buku-buku dan
artikel-artikel yang berhubungan dengan perlindungan korban
tindak pidana perkosaan dari sudut pandang viktimologi.
II. PEMBAHASAN
A. Korban Tindak Kejahatan
1. Pengertian Korban
Korban tidak saja dipahami sebagai obyek dari
suatu kejahatan tetapi juga harus dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat
perlindungan secara sosial dan hukum. Pada dasarnya korban adalah orang baik,
individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara
langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai target dari kejahatan
subyek lain yang dapat menderita kerugian akibat kejahatan adalah badan hukum. Bila
hendak membicarakan mengenai korban, maka seyogyanya dilihat kembali pada
budaya dan peradaban Ibrani kuno. Dalam peradaban tersebut, asal mula
pengertian korban merujuk pada pengertian pengorbanan atau yang dikorbankan,
yaitu” mengorbankan seseorang atau binatang untuk pemujaan atau hirarki
kekuasaan”.
Selama beberapa abad, pengertian korban menjadi
berubah dan memiliki makna yang lebih luas. Ketika viktimologi pertama kali
ditemukan yaitu pada tahun 1940-an, para ahli viktimologi seperti Mendelshon,
Von Hentig dan Wolfgang cenderung mengartikan korban berdasarkan text book dan
kamus yaitu ”orang lemah yang membuat dirinya sendiri menjadi korban”.
Pemahaman seperti itu ditentang habis-habisan oleh kaum feminist sekitar tahun
1980-an, dan kemudian mengubah pengertian korban yaitu “setiap orang yang
terperangkap dalam suatu hubungan atau situasi yang asimetris. Asimetris disini
yaitu segala sesuatu yang tidak imbang, bersifat ekploitasi, parasitis (mencari
keuntungan untuk pihak tertentu), merusak, membuat orang menjadi terasing, dan
menimbulkan penderitaan yang panjang”.
Istilah korban pada saat itu merujuk pada
pengertian “setiap orang, kelompok, atau apapun yang mengalami luka-luka,
kerugian, atau penderitaan akibat tindakan yang bertentangan dengan hukum.
Penderitaan tersebut bias berbentuk fisik, psikologi maupun ekonomi”. Kamus
umum bahasa Indonesia menyebutkan kata korban mempunyai pengertian:”korban
adalah orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dan
sebagainya) sendiri atau orang lain”.
Pengertian korban menurut Arif Gosita adalah
mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai tindakan orang lain yang
mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan
dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Pengertian yang disampaikan
oleh Arif Gosita tersebut sudah diperluas maknanya, tidak hanya untuk
perorangan tetapi berlaku bagi subyek hukum yang lain, seperti badan hukum,
kelompok masyarakat dan korporasi. Timbulnya korban erat kaitanya dengan
kejahatan.
Sahetapy memberikan pengertian korban tidak
hanya dibatasi sebagai korban kejahatan saja, karena dari sebab timabulnya dan
akibat yang ada mempunyai aspek yang luas dilihat dari beberapa segi, hal ini
dapat dilihat pendapatnya mengenai korban yaitu: “korban adalah orang
perorangan atau badan hukum yang menderita luka-luka, kerusakan atau
bentuk-bentuk kerugian lainnya yang dirasakan, baik secara fisik maupun secara
kejiwaan. Kerugian tersebut tidak hanya dilihat dari sisi hukum saja, tetapi
juga dilihat dari segi ekonomi, politik maupun social budaya. Mereka yang
menjadi korban dalam hal ini dapat dikarenakan kesalahan si korban itu sendiri,
peranan korban secara langsung atau tidak langsung, dan tanpa adanya peranan
dari si korban.
Van Boven merujuk pada Deklarasi
Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi korban Kejahatan dan penyalahgunaan
kekuasaan (Declaration of basic Principle of justice for victim of crime and
abuse of power) yang mendefinisikan korban adalah: Orang yang secara individual
maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental,
penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak
dasarnya, baik kerana tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission).
Berdasarkan pada beberapa pengertian tersebut
diatas, pengertian korban bukan hanya untuk manusia saja atau perorangan saja,
akan tetapi dapat berlaku juga bagi badan hukum, badan usaha, kelompok
organisasi maupun Negara. Perluasan pengertian subyek hukum tersebut karena
badan hukum atau kelompok tersebut melaksanakan hak dan kewajiban yang
dilindungi oleh hukum atau dengan kata lain subyek hukum tersebut dapat
merasakan penderitaan atau kerugian atas kepentingan yang dimiliki akibat
perbuatan sendiri atau pihak lain seperti yang dirasakan oleh manusia.
Rancangan Deklarasi dan Resolusi Konggres PBB
ke-7 yang kemudian menjadi Resolusi MU-PBB 40/34, bahwa yang dimaksud dengan
korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang
menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana
yang berlaku di suatu Negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang
penyalahgunaan kekuasaan.
Perlu dicatat, bahwa pengertian kerugian (Harm)
menurut Resolusi tersebut, meliputi kerugian fisik maupun mental (Physical or
mental injury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi
(economic loss) atau perusakan substansial dari hak-hak asasi manusia mereka
(substantial impairment of theirfundamental rights). Selanjutnya dikemukakan
bahwa seseorang dapat di pertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah
sipelaku kejahatan itu sudah diketahui, ditahan, dituntut, atau dipidana dan tanpa
memandang hubungan keluarga antara sipelaku dengan korban.
2. Macam-Macam Korban Kejahatan
Telah disempaikan sebelumnya bahwa pengertian
korban telah diperluas sehingga tidak saja mencakup korban dari kejahatan
konvensional, tetapi juga korban non konvensional dan penyalahgunaan kekuasaan.
Pada Kongres PBB kelima tentang pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar
hukum (Jenewa, September 1957) telah dijadikan salah satu topic pembicaraan
mengenai New forms and dimension of crime yang meliputi antara lain crime as
business dan economic and social consequences of crime; new challenges for
research and planning. Dalam Konggres tersebut telah dibicarakan masalah cost
of crime yang dikatakan hit most severely the weaker members of society,
permiting the powerful to commit crimes with impunity.
Konggres PBB ketujuh telah mengelompokkan
macam-macam korban sebagai berikut:
a.
Korban
kejahatan konvensional adalah korban yang diakibatkan oleh tindak pidana biasa
atau kejahatan biasa misalnya, pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan
lain-lain;
b.
Korban
non-konvensional adalah korban kejahatan yang diakibatkan oleh tindak pidana
berat seperti terorisme, pembajakan, perdagangan narkotika secara tidak sah,
kejahatan terorganisir dan kejahatan computer;
c.
Korban
kejahatan akibat penyalahgunaan kekuasaan (Ilegal abuses of power) terhadap hak
asasi manusia alat penguasa termasuk penangkapan serta penahanan yang melanggar
hukum dan lain sebagainya.
Pengelompokan atas macam-macam korban tersebut
didasarkan atas perkembangan masyarakat. Terhadap korban kategori ketiga adanya
korban penyalahgunaan kekuasaan berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Kemudian sejak viktimologi diperkenalkan sebagi suatu ilmu pengetahuan yang
mengkaji permasalahan korban serta segala aspeknya, maka wolfgang melalui
penelitiannya menemukan bahwa ada beberapa macam korban yaitu:
a.
Primary
victimization, adalah korban individual/perorangan bukan kelompok;
b.
Secondary
Victimization, korbannya adalah kelompok, misalnya badan hukum;
c.
Tertiary Victimization,
yang menjadi korban adalah masyarakat luas;
d.
Non
Victimozation, korbannya tidak dapat segera diketahui misalnya konsumen yang
tertipu dalam menggunakan hasil peroduksi.
Uraian mengenai macam-macam korban diatas maka
dapat dipahami bahwa korban pada prinsipnya adalah merupakan orang yang
mengalami penderitaan karena suatu hal yang dilakukan oleh orang lain,
institusi atau lembaga dan structural. Yang dapat menjadi korban bukan hanya
manusia saja, tetapi dapat pula badan hukum atau perusahaan, Negara, asosiasi,
keamanan, kesejahteraan umum dan agama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
siapa saja dapat menjadi korban, dengan kata lain semua orang berpotensi
menjadi korban dan begitu pula sebaliknya semua orang berpotensi untuk
menimbulkan korban.
3. Tipologi Korban
Untuk memahami peran korban, harus dipahami
pula tipologi korban yang dapat diidentifikasi dari keadaan dan status korban.
Tipologi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.
Unrelated
victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan korban,
misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam hal ini tanggungjawab sepenuhnya
terletak pada pelaku.
b.
Provocative
Victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban,
misalnya kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.
c.
Participating
Victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat tetapi dengan sikapnya justru
mendorong dirinya menjadi korban.
d.
Biologically
weak Victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan atau potensi
untuk menjadi korban, misalnya orang tua renta, anak-anak dan orang yang tidak
mampu berbuat apa-apa.
e.
Socially Weak
Victims, Yaitu mereka yang memiliki kedudukan social yang lemah yang
menyebabkan mereka menjadi korban, misalnya korban perdagangan perempuan, dan
sebagainya.
f.
Self Victimizing,
yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri,
pengguna obat bius, judi, aborsi dan prostitusi.
Munculnya perhatian terhadap korban dapat
dikatakan sebagai reaksi perimbangan terhadap perhatian yang selama ini selalu
ditujukan kepada pelaku kejahatan (Offender Oriented), padahal bagaimanapun
pertumbuhan dan perkembangan kejahatan tidak dapat dilepaskan dari masalah
korban, yang secara etiologis korbanadalah pihak yang mengalami kerugian dan
sekaligus korban dapat pula memberikan daya rangsang secara sadar ataupun tidak
terhadap pelaku kejahatan.
Kurangnya perhatian terhadap korban nampak
jelas pada peran dan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana SPP.
Padahal harus dipahami bahwa bergeraknya sistem peradilan pidana karena peranan
korban juga. Melihat hal ini Mardjono Reksodiputro mengemukakan bahwa sistem
peradilan pidana yang sekarang ini berlaku terlalu difokuskan pada pelaku
(menangkap, menyidik, mengadili dan menghukum pelaku) dan kurang sekali memperhatikan
korban. Yang acapkali terjadi adalah bahwa terlibatnya korban dalam sistem
peradilan pidana hanya menambah trauma dan meningkatkan ketidakberdayaannya
serta prustasi karena tidak diberikan perlindungan dan upaya hukum yang
cukup.SPP yang sekarang ini memang terlalu Offender Centered, sehingga
mengharuskan kita untuk memperbaiki posisi koban dalam sistem ini agar apa yang
diperolehnya tidak hanya kepuasan simbolik.
B. Perlindungan Korban Tindak Pidana Perkosaan Dari Sudut Pandang
Viktimologi
Perlindungan terhadap korban menurut Barda
Nawawi dapat dilihat dari dua makna yaitu:
1. Perlindungan hukum untuk tidak menjadi
korban tindak pidana lagi (berarti perlindungan hak asasi manusia (HAM) atau
kepentingn hukum seseorang);
2. Perlindungan untuk memperoleh
jaminan/santunan hukum atas penderitaan /kerugian orang yang telah menjadi
korban tindak pidana (jadi identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan
itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi) pemulihan keseimbangan
batin (antara lain dengan permaafan), pemberian gantirugi (restitusi,
kompensasi, jaminan/ santunan kesejahteraan sosial) dan sebagainya.
Perlindungan hukum terhadap korban bukan hanya
menjadi masalah nasional Perlindungan hukum diartikan sebagai pengakuan dan jaminan
yang diberikan oleh hukum dalam hubungannya dengan hak-hak manusia.
Perlindungan hukum merupakan “conditio sine quanon” penegakan hukum. Sedangkan
penegakan hukum merupakan wujud dari fungsi hukum. Menurut Bisman Siregar dalam
mengkaji perlindungan hukum tiada lain perlindungan hukum yang sesuai dengan
keadilan. Mengkaji perlindungan hukum juga harus bersesuaian dengan KeTuhanan
Yang Maha Esa, sila pertama pancasila, dasar Negara dan atas nama-NYA putusan
diucapkan. Juga sila ke dua, kemanusiaan yang adil dan beradap.
Indonesia sebagai Negara hukum berdasarkan
pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya
yang sesuai dengan pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan
pancasila berarti pengakuan dan perlindungan akan harkat dan martabat manusia
atas dasar nilai keTuhanan, Kemanusiaan, persatuan/permusyawaratan serta
keadilan social. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak
asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk social dalam
wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi
mencapai kesejahteraan bersama.
Perlindungan hukum selain berfungsi untuk
memenuhi hak-hak asasi pelaku juga memberikan perlindungan hukum terhadap
korban secara adil. Sehingga hak-hak mereka dapat terlindungi dari tindakan
sewenang-wenang para aparat hukum yang kadangkala melecehkan mereka yang
menjadi korban. Perlindungan hukum dari segi macamnya dapat dibedakan antara
pasif dan aktif. Perlindungan hukum yang pasif berupa tindakan-tindakan luar
(selain proses peradilan) yang memberikan pengakuan dan jaminan dalam bentuk
pengaturan atau kebijaksanaan berkaitan dengan hak-hak pelaku maupun korban.
Sedangkan yang aktif dapat berupa tindakan yang berkaitan dengan upaya pemenuhan
hak-haknya. Perlindungan hukum aktif ini dapat dibagi lagi menjadi aktif
prefentif dan aktif represif. Aktif preventif berupa hak-hak yang diberikan
oleh pelaku, yang harus diterima oleh korban berkaitan dengan penerapan aturan
hukum ataupun kebijaksanaan pemerintah. Sedangkan aktif represif berupa
tuntutan kepada pemerintah atau aparat penegak hukum terhadap pengaturan maupun
kebijaksanaan yang telah diterapkan kepada korban yang dipandang merugikan.
Korban sebagai pihak yang dirugikan oleh
terjadinya tindak pidana sangat penting untuk dilindungi. Sehingga sistem
peradilan pidana perlu melakukan langkah-langkah perlindungan yang konkrit
terhadap korban yaitu dengan menjamin atau memberikan hak-hak kepada korban
agar korban dapat membantu dalam pengungkapan perkaranya.
Untuk mendapatkan perlindungan yang maksimal,
korban kejahatan (pemerkosaan) memiliki hak yang harus diperhatikan. Adapun
hak-hak korban tindak pidana pemerkosaan adalah:
a.
Korban mendapat
ganti kerugian atas penderitaannya. Pemberian ganti kerugian tersebut haruslah
disesuaikan dengan kemampuan memberi kerugian dari pihak pelaku dan taraf
keterlibatan pihak korban dalam terjadinya kejahatan dan delikuensi tersebut;
b.
Korban menolak
restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi karena tidak
memerlukan);
b.
Korban mendapat
restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya, apabila pihak korban meninggal dunia
karena tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku;
c.
Korban mendapat
pembinaan dan rehabilitasi;
d.
Korban
mendapatkan hak miliknya kembali;
e.
Korban mendapat
perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melaporkan tindak pidana yang
menimpa dirinya, dan apabila menjadi saksi atas tindak pidana tersebut;
f.
Korban
mendapatkan bantuan hukum;
g.
Korban berhak
mempergunakan upaya hukum.
III. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Untuk mendapatkan perlindungan yang maksimal,
korban kejahatan (pemerkosaan) memiliki hak yang harus diperhatikan. Adapun
hak-hak korban tindak pidana pemerkosaan adalah: korban mendapat ganti kerugian
atas penderitaannya. Pemberian ganti kerugian tersebut haruslah disesuaikan
dengan kemampuan memberi kerugian dari pihak pelaku dan taraf keterlibatan
pihak korban dalam terjadinya kejahatan dan delikuensi tersebut; korban menolak
restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi karena tidak
memerlukan); korban mendapat restitusi/kompensasi untuk ahli earisnya, apabila
pihak korban meninggal dunia karena tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku; korban
mendapat pembinaan dan rehabilitasi; korban mendapatkan hak miliknya kembali; korban
mendapat perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melaporkan tindak pidana
yang menimpa dirinya, dan apabila menjadi saksi atas tindak pidana tersebut; korban
mendapatkan bantuan hukum; dan korban berhak mempergunakan upaya hukum.
B. Saran
Diperlukan adanya peraturan hukum yang
lebih jelas mengenai perlindungan terhadap korban kejahatan khususnya korban
pemerkosaan. Selain itu sosialisasi hak-hak korban kepada korban pemerkosaan
harus dioptimalkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Arif Setiawan, Muhammad. 1992. Kedudukan
Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta.
Gosita,
Arif. 1985. Viktimologi dan KUHAP.
Akademika Presindo. Jakarta.
1993. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Presindo.
Jakarta.
Prodjodikoro,
Wirjono. 1998. Asas-asas Hukum di
Indonesia. PT Eresco Jakarta. Bandung
Purnomo, Bambang. 2002. Hukum dan
Viktimologi, Bahan Kuliah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Pidana
Universitas Padjadjaran Bandung.
Soetandyo,
Wignjosoebroto. 1997. Kejahatan Perkosaan
Telaah Teoritik Dari Sudut Tinjau Ilmu-Ilmu Sosial, dalam Perempuan Dalam
Wacana Perkosaan. Yogyakarta.
Undang-Undang No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar