Minggu, 30 September 2012

PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DARI SUDUT PANDANG VIKTIMOLOGI



PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DARI SUDUT PANDANG VIKTIMOLOGI

I. PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Perkembangan viktimologi suatu negara merupakan suatu hasil interaksi akibat adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi yang penting sekarang adalah mencari fenomena yang relevan, yang mempengaruhi pengembangan viktimologi, yang menjadi partisipan pendukung atau penghambat pengembangan viktimologi di suatu negara. Salah satu faktor pendukung utama yang mempengaruhi kuat pengembangan viktimologi di suatu negara adalah pandangan  hidup tertentu bangsa negara tersebut. Diharapkan adanya keserasian dan keselarasan antara pandangan hidup tersebut dengan viktimologi yang akan dikembangkan. Misalnya: pandangan hidup tersebut harus merupakan dasar, landasan pemikiran, konsep-konsep dalam viktimologi yang dikembangkan; konsep-konsep yang ada dalam viktimologi dapat diterima oleh sebab dapat bermanfaat untuk pelaksanaan pandangan hidup tersebut dan dapat dipertanggungjawabkan kepada pandangan hidup tersebut (Arif Gosita, 1993).

Pandangan, pemikiran, ideologi yang baru timbul dari dalam negeri atau yang berasal dari luar negeri harus dikaji, diuji dengan pandangan hidup yang telah diterima oleh bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Jadi yang dipermasalahkan sekarang adalah, apakah yang dianggap baru tersebut menurut Pancasila adalah rasional, dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat. Hal ini tentunya juga berlaku untuk viktimologi yang dianggap sebagai suatu yang baru dan ingin dikembangkan. Dengan demikian, maka dicari sekarang pemikiran-pemikiran mana yang terdapat dalam pandangan hidup asli tersebut yang dapat mendukung pengembangan viktimologi.

Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian viktimisasi kriminal. Pendapat: viktimologi dipergunakan dalam keputusan: peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal. Mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan kriminal, merupakan juga studi, mengenai hak dan kewajiban asasi manusia. Dari apa yang telah dikemukakan dapatlah sedikit banyak diketahui bahwa manfaat dan tujuan viktimologi adalah antara lain untuk meringankan kepedihan penderitaan dari orang yang menjadi korban kejahatan. Penderitaan dalam arti menjadi korban jangka pendek dan jangka panjang yang berupa kerugian fisik, mental maupun moral, sosial, ekonomis, kerugian yang  hampir sama sekali dilupakan, diabaikan oleh kontrol sosial yang melembaga seperti penegak hukum Penuntut umum, pengadilan ,petugas-petugas probation, pembinaan, pemasyarakatan dan sebagainya.

Korban atau pihak yang menderita sebagai anggota masyarakat, wajib ikut serta dalam usaha penegakan hukum, dengan memberikan kesaksian. Korban sebagai saksi dimanfaatkan oleh jaksa untuk membuktikan kesalahan si pelaku sesuai dengan sistem peradilan pidana yang berlaku demi penegakan hukum. Sebetulnya korban/pihak korban merupakan salah satu pihak yang mencapai keadilan di pengadilan. Tetapi dalam keputusan pengadilan tersebut yang dimulai dengan kata-kata: “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, tidak dicantumkan keputusan mengenai pemberian ganti kerugian bagi pihak korban.

Kasus perkosaan yang terjadi pada tahun 2009 sebanyak 105 kasus, kasus pemerkosaan justru lebih banyak dilakukan masyarakat dengan strata sosial dan intelektual tinggi. Korban terbanyak adalah pembantu rumah tangga dan anak yang merupakan keponakan atau saudara teman. Jumlah kasus perkosaan pada tahun 2009 sudah jauh menurun dibandingkan dengan jumlah kasus sebelum tahun 2003 (Sumber : LSM DAMAR). Salah satu kasus pemerkosaan di Kota Bandar Lampung, yaitu kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh Sulaiman Bin Kasma kepada anak di bawah umur. Sulaiman Bin Kasma dalam persidangan terbukti melakukan tindak pidana pemerkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan divonnis dengan pidana 10 (sepuluh) tahun penjara dan denda Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)/subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.

Viktimologi dapat dirumuskan sebagai suatu studi yang mempelajari masalah korban, merupakan suatu masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial. Di sini yang dimaksud dengan korban dan yang menimbulkan korban dapat berupa seorang individu, suatu kelompok, korporasi swasta atau pemerintah.

Sedangkan yang dimaksud dengan akibat-akibat penimbulan korban, adalah sikap atau tindakan-tindakan terhadap pihak korban dan atau pihak pelaku, serta mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan. Sikap dan tindakan yang diambil dapat pula merupakan berbagai macam kepedihan dan penderitaan bagi yang bersangkutan, seperti misalnya: pemberian imbalan hukuman yang berlebihan, di luar kemampuan untuk dihukum pihak pelaku; pemberian hukuman secara kolektif pada suatu kelompok oleh karena seseorang anggota kelompok tersebut telah melakukan suatu kejahatan. Jadi, seorang yang melakukan kejahatan yang lain ikut menerima hukuman, pihak korban setelah menderita akibat perbuatan orang lain, tidak mendapatkan pelayanan ganti rugi atas penderitaannya. Penentuan sikap dan pengambilan tindakan tertentu tidak selalu menyelesaikan permasalahan, menegakkan keadilan dan mendatangkan kesejahteraan pada yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis akan membahas suatu masalah yang erat kaitannya dengan viktimologi dalam bentuk makalah dengan judul: “Perlindungan Korban Tindak Pidana Perkosaan Dari Sudut Pandang Viktimologi”.

B. Permasalahan

Sebagai pembatasan masalah dalam penulisan ini, dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah, yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah pengaturan mengenai korban kejahatan dalam viktimologi?
2.      Bagaimanakah perlindungan korban tindak pidana perkosaan dari sudut pandang viktimologi?

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang Hukum dan Viktimologi pada umumnya dan khususnya mengenai perlindungan korban tindak pidana perkosaan dari sudut pandang viktimologi.

D. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk:
1.      Mengetahui pengaturan korban kejahatan dalam viktimologi.
2.      Mengetahui perlindungan korban tindak pidana perkosaan dari sudut pandang viktimologi.

E. Metode Penelitian

Penulisan makalah ini menggunakan metode studi pustaka dalam pengumpulan bahan yang dibutuhkan. Bahan-bahan referensi yang digunakan dalam pembuatan makalah ini berasal dari buku-buku dan artikel-artikel yang berhubungan dengan perlindungan korban tindak pidana perkosaan dari sudut pandang viktimologi.












 



II. PEMBAHASAN


A. Korban Tindak Kejahatan

1. Pengertian Korban
Korban tidak saja dipahami sebagai obyek dari suatu kejahatan tetapi juga harus dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan secara sosial dan hukum. Pada dasarnya korban adalah orang baik, individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai target dari kejahatan subyek lain yang dapat menderita kerugian akibat kejahatan adalah badan hukum. Bila hendak membicarakan mengenai korban, maka seyogyanya dilihat kembali pada budaya dan peradaban Ibrani kuno. Dalam peradaban tersebut, asal mula pengertian korban merujuk pada pengertian pengorbanan atau yang dikorbankan, yaitu” mengorbankan seseorang atau binatang untuk pemujaan atau hirarki kekuasaan”.

Selama beberapa abad, pengertian korban menjadi berubah dan memiliki makna yang lebih luas. Ketika viktimologi pertama kali ditemukan yaitu pada tahun 1940-an, para ahli viktimologi seperti Mendelshon, Von Hentig dan Wolfgang cenderung mengartikan korban berdasarkan text book dan kamus yaitu ”orang lemah yang membuat dirinya sendiri menjadi korban”. Pemahaman seperti itu ditentang habis-habisan oleh kaum feminist sekitar tahun 1980-an, dan kemudian mengubah pengertian korban yaitu “setiap orang yang terperangkap dalam suatu hubungan atau situasi yang asimetris. Asimetris disini yaitu segala sesuatu yang tidak imbang, bersifat ekploitasi, parasitis (mencari keuntungan untuk pihak tertentu), merusak, membuat orang menjadi terasing, dan menimbulkan penderitaan yang panjang”.

Istilah korban pada saat itu merujuk pada pengertian “setiap orang, kelompok, atau apapun yang mengalami luka-luka, kerugian, atau penderitaan akibat tindakan yang bertentangan dengan hukum. Penderitaan tersebut bias berbentuk fisik, psikologi maupun ekonomi”. Kamus umum bahasa Indonesia menyebutkan kata korban mempunyai pengertian:”korban adalah orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dan sebagainya) sendiri atau orang lain”.

Pengertian korban menurut Arif Gosita adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Pengertian yang disampaikan oleh Arif Gosita tersebut sudah diperluas maknanya, tidak hanya untuk perorangan tetapi berlaku bagi subyek hukum yang lain, seperti badan hukum, kelompok masyarakat dan korporasi. Timbulnya korban erat kaitanya dengan kejahatan.

Sahetapy memberikan pengertian korban tidak hanya dibatasi sebagai korban kejahatan saja, karena dari sebab timabulnya dan akibat yang ada mempunyai aspek yang luas dilihat dari beberapa segi, hal ini dapat dilihat pendapatnya mengenai korban yaitu: “korban adalah orang perorangan atau badan hukum yang menderita luka-luka, kerusakan atau bentuk-bentuk kerugian lainnya yang dirasakan, baik secara fisik maupun secara kejiwaan. Kerugian tersebut tidak hanya dilihat dari sisi hukum saja, tetapi juga dilihat dari segi ekonomi, politik maupun social budaya. Mereka yang menjadi korban dalam hal ini dapat dikarenakan kesalahan si korban itu sendiri, peranan korban secara langsung atau tidak langsung, dan tanpa adanya peranan dari si korban.

Van Boven merujuk pada Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi korban Kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan (Declaration of basic Principle of justice for victim of crime and abuse of power) yang mendefinisikan korban adalah: Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik kerana tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission).

Berdasarkan pada beberapa pengertian tersebut diatas, pengertian korban bukan hanya untuk manusia saja atau perorangan saja, akan tetapi dapat berlaku juga bagi badan hukum, badan usaha, kelompok organisasi maupun Negara. Perluasan pengertian subyek hukum tersebut karena badan hukum atau kelompok tersebut melaksanakan hak dan kewajiban yang dilindungi oleh hukum atau dengan kata lain subyek hukum tersebut dapat merasakan penderitaan atau kerugian atas kepentingan yang dimiliki akibat perbuatan sendiri atau pihak lain seperti yang dirasakan oleh manusia.

Rancangan Deklarasi dan Resolusi Konggres PBB ke-7 yang kemudian menjadi Resolusi MU-PBB 40/34, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu Negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.
Perlu dicatat, bahwa pengertian kerugian (Harm) menurut Resolusi tersebut, meliputi kerugian fisik maupun mental (Physical or mental injury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi (economic loss) atau perusakan substansial dari hak-hak asasi manusia mereka (substantial impairment of theirfundamental rights). Selanjutnya dikemukakan bahwa seseorang dapat di pertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah sipelaku kejahatan itu sudah diketahui, ditahan, dituntut, atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga antara sipelaku dengan korban.

2. Macam-Macam Korban Kejahatan
Telah disempaikan sebelumnya bahwa pengertian korban telah diperluas sehingga tidak saja mencakup korban dari kejahatan konvensional, tetapi juga korban non konvensional dan penyalahgunaan kekuasaan. Pada Kongres PBB kelima tentang pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum (Jenewa, September 1957) telah dijadikan salah satu topic pembicaraan mengenai New forms and dimension of crime yang meliputi antara lain crime as business dan economic and social consequences of crime; new challenges for research and planning. Dalam Konggres tersebut telah dibicarakan masalah cost of crime yang dikatakan hit most severely the weaker members of society, permiting the powerful to commit crimes with impunity.

Konggres PBB ketujuh telah mengelompokkan macam-macam korban sebagai berikut:
a.       Korban kejahatan konvensional adalah korban yang diakibatkan oleh tindak pidana biasa atau kejahatan biasa misalnya, pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan lain-lain;
b.      Korban non-konvensional adalah korban kejahatan yang diakibatkan oleh tindak pidana berat seperti terorisme, pembajakan, perdagangan narkotika secara tidak sah, kejahatan terorganisir dan kejahatan computer;
c.       Korban kejahatan akibat penyalahgunaan kekuasaan (Ilegal abuses of power) terhadap hak asasi manusia alat penguasa termasuk penangkapan serta penahanan yang melanggar hukum dan lain sebagainya.

Pengelompokan atas macam-macam korban tersebut didasarkan atas perkembangan masyarakat. Terhadap korban kategori ketiga adanya korban penyalahgunaan kekuasaan berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Kemudian sejak viktimologi diperkenalkan sebagi suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji permasalahan korban serta segala aspeknya, maka wolfgang melalui penelitiannya menemukan bahwa ada beberapa macam korban yaitu:
a.       Primary victimization, adalah korban individual/perorangan bukan kelompok;
b.      Secondary Victimization, korbannya adalah kelompok, misalnya badan hukum;
c.       Tertiary Victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas;
d.      Non Victimozation, korbannya tidak dapat segera diketahui misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan hasil peroduksi.
Uraian mengenai macam-macam korban diatas maka dapat dipahami bahwa korban pada prinsipnya adalah merupakan orang yang mengalami penderitaan karena suatu hal yang dilakukan oleh orang lain, institusi atau lembaga dan structural. Yang dapat menjadi korban bukan hanya manusia saja, tetapi dapat pula badan hukum atau perusahaan, Negara, asosiasi, keamanan, kesejahteraan umum dan agama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siapa saja dapat menjadi korban, dengan kata lain semua orang berpotensi menjadi korban dan begitu pula sebaliknya semua orang berpotensi untuk menimbulkan korban.

3. Tipologi Korban
Untuk memahami peran korban, harus dipahami pula tipologi korban yang dapat diidentifikasi dari keadaan dan status korban. Tipologi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.       Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan korban, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam hal ini tanggungjawab sepenuhnya terletak pada pelaku.
b.      Provocative Victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.
c.       Participating Victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
d.      Biologically weak Victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan atau potensi untuk menjadi korban, misalnya orang tua renta, anak-anak dan orang yang tidak mampu berbuat apa-apa.
e.       Socially Weak Victims, Yaitu mereka yang memiliki kedudukan social yang lemah yang menyebabkan mereka menjadi korban, misalnya korban perdagangan perempuan, dan sebagainya.
f.       Self Victimizing, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, pengguna obat bius, judi, aborsi dan prostitusi.
Munculnya perhatian terhadap korban dapat dikatakan sebagai reaksi perimbangan terhadap perhatian yang selama ini selalu ditujukan kepada pelaku kejahatan (Offender Oriented), padahal bagaimanapun pertumbuhan dan perkembangan kejahatan tidak dapat dilepaskan dari masalah korban, yang secara etiologis korbanadalah pihak yang mengalami kerugian dan sekaligus korban dapat pula memberikan daya rangsang secara sadar ataupun tidak terhadap pelaku kejahatan.

Kurangnya perhatian terhadap korban nampak jelas pada peran dan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana SPP. Padahal harus dipahami bahwa bergeraknya sistem peradilan pidana karena peranan korban juga. Melihat hal ini Mardjono Reksodiputro mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana yang sekarang ini berlaku terlalu difokuskan pada pelaku (menangkap, menyidik, mengadili dan menghukum pelaku) dan kurang sekali memperhatikan korban. Yang acapkali terjadi adalah bahwa terlibatnya korban dalam sistem peradilan pidana hanya menambah trauma dan meningkatkan ketidakberdayaannya serta prustasi karena tidak diberikan perlindungan dan upaya hukum yang cukup.SPP yang sekarang ini memang terlalu Offender Centered, sehingga mengharuskan kita untuk memperbaiki posisi koban dalam sistem ini agar apa yang diperolehnya tidak hanya kepuasan simbolik.

B. Perlindungan Korban Tindak Pidana Perkosaan Dari Sudut Pandang
     Viktimologi

Perlindungan terhadap korban menurut Barda Nawawi dapat dilihat dari dua makna yaitu:
1. Perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana lagi (berarti perlindungan hak asasi manusia (HAM) atau kepentingn hukum seseorang);
2. Perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan /kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana (jadi identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi) pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan permaafan), pemberian gantirugi (restitusi, kompensasi, jaminan/ santunan kesejahteraan sosial) dan sebagainya.

Perlindungan hukum terhadap korban bukan hanya menjadi masalah nasional Perlindungan hukum diartikan sebagai pengakuan dan jaminan yang diberikan oleh hukum dalam hubungannya dengan hak-hak manusia. Perlindungan hukum merupakan “conditio sine quanon” penegakan hukum. Sedangkan penegakan hukum merupakan wujud dari fungsi hukum. Menurut Bisman Siregar dalam mengkaji perlindungan hukum tiada lain perlindungan hukum yang sesuai dengan keadilan. Mengkaji perlindungan hukum juga harus bersesuaian dengan KeTuhanan Yang Maha Esa, sila pertama pancasila, dasar Negara dan atas nama-NYA putusan diucapkan. Juga sila ke dua, kemanusiaan yang adil dan beradap.
Indonesia sebagai Negara hukum berdasarkan pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya yang sesuai dengan pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan pancasila berarti pengakuan dan perlindungan akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai keTuhanan, Kemanusiaan, persatuan/permusyawaratan serta keadilan social. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk social dalam wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama.

Perlindungan hukum selain berfungsi untuk memenuhi hak-hak asasi pelaku juga memberikan perlindungan hukum terhadap korban secara adil. Sehingga hak-hak mereka dapat terlindungi dari tindakan sewenang-wenang para aparat hukum yang kadangkala melecehkan mereka yang menjadi korban. Perlindungan hukum dari segi macamnya dapat dibedakan antara pasif dan aktif. Perlindungan hukum yang pasif berupa tindakan-tindakan luar (selain proses peradilan) yang memberikan pengakuan dan jaminan dalam bentuk pengaturan atau kebijaksanaan berkaitan dengan hak-hak pelaku maupun korban. Sedangkan yang aktif dapat berupa tindakan yang berkaitan dengan upaya pemenuhan hak-haknya. Perlindungan hukum aktif ini dapat dibagi lagi menjadi aktif prefentif dan aktif represif. Aktif preventif berupa hak-hak yang diberikan oleh pelaku, yang harus diterima oleh korban berkaitan dengan penerapan aturan hukum ataupun kebijaksanaan pemerintah. Sedangkan aktif represif berupa tuntutan kepada pemerintah atau aparat penegak hukum terhadap pengaturan maupun kebijaksanaan yang telah diterapkan kepada korban yang dipandang merugikan.
Korban sebagai pihak yang dirugikan oleh terjadinya tindak pidana sangat penting untuk dilindungi. Sehingga sistem peradilan pidana perlu melakukan langkah-langkah perlindungan yang konkrit terhadap korban yaitu dengan menjamin atau memberikan hak-hak kepada korban agar korban dapat membantu dalam pengungkapan perkaranya.

Untuk mendapatkan perlindungan yang maksimal, korban kejahatan (pemerkosaan) memiliki hak yang harus diperhatikan. Adapun hak-hak korban tindak pidana pemerkosaan adalah:
a.       Korban mendapat ganti kerugian atas penderitaannya. Pemberian ganti kerugian tersebut haruslah disesuaikan dengan kemampuan memberi kerugian dari pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban dalam terjadinya kejahatan dan delikuensi tersebut;
b.      Korban menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi karena tidak memerlukan);
b.      Korban mendapat restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya, apabila pihak korban meninggal dunia karena tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku;
c.       Korban mendapat pembinaan dan rehabilitasi;
d.      Korban mendapatkan hak miliknya kembali;
e.       Korban mendapat perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melaporkan tindak pidana yang menimpa dirinya, dan apabila menjadi saksi atas tindak pidana tersebut;
f.       Korban mendapatkan bantuan hukum;
g.      Korban berhak mempergunakan upaya hukum.
 



III. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan

Untuk mendapatkan perlindungan yang maksimal, korban kejahatan (pemerkosaan) memiliki hak yang harus diperhatikan. Adapun hak-hak korban tindak pidana pemerkosaan adalah: korban mendapat ganti kerugian atas penderitaannya. Pemberian ganti kerugian tersebut haruslah disesuaikan dengan kemampuan memberi kerugian dari pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban dalam terjadinya kejahatan dan delikuensi tersebut; korban menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi karena tidak memerlukan); korban mendapat restitusi/kompensasi untuk ahli earisnya, apabila pihak korban meninggal dunia karena tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku; korban mendapat pembinaan dan rehabilitasi; korban mendapatkan hak miliknya kembali; korban mendapat perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melaporkan tindak pidana yang menimpa dirinya, dan apabila menjadi saksi atas tindak pidana tersebut; korban mendapatkan bantuan hukum; dan korban berhak mempergunakan upaya hukum.



B. Saran

Diperlukan adanya peraturan hukum yang lebih jelas mengenai perlindungan terhadap korban kejahatan khususnya korban pemerkosaan. Selain itu sosialisasi hak-hak korban kepada korban pemerkosaan harus dioptimalkan.



















DAFTAR PUSTAKA


Arif Setiawan, Muhammad. 1992. Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta.

Gosita, Arif. 1985. Viktimologi dan KUHAP. Akademika Presindo. Jakarta.

                     1993. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Presindo. Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono. 1998. Asas-asas Hukum di Indonesia. PT Eresco Jakarta. Bandung

Purnomo, Bambang. 2002. Hukum dan Viktimologi, Bahan Kuliah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Bandung.

Soetandyo, Wignjosoebroto. 1997. Kejahatan Perkosaan Telaah Teoritik Dari Sudut Tinjau Ilmu-Ilmu Sosial, dalam Perempuan Dalam Wacana Perkosaan. Yogyakarta.

Undang-Undang No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar