Minggu, 30 September 2012

PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA SEBAGAI KEPATUHAN HUKUM DALAM BERNEGARA



PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA SEBAGAI KEPATUHAN HUKUM DALAM BERNEGARA


A. Latar Belakang


Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. Untuk mengontrol kekuasaan eksekutif tersebut diperlukan lembaga yudikatif atau kehakiman. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 UUD 1945 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Salah satu bentuk kontrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) dibentuk dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 dan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986. Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekuasaan negara, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif (kehakiman).

Lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan di Indonesia ditandai dengan disahkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986. Dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Dengan demikian lahirnya PERATUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Dengan berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diatur mengenai bagian-bagian baru pada Peradilan Tata Usaha Negara yang sebelumnya tidak diatur oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, khususnya pada Pasal 116, Bagian kelima mengenai Pelaksanaan Putusan Pengadilan, yaitu:
1.      Lembaga Upaya Paksa yaitu berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Mengenai penjelasan dari lembaga baru ini, belum dapat diberikan karena belum adanya peraturan pelaksanaan yang mengatur tentang struktur, tugas dan wewenang dari juru sita/juru sita pengganti, untuk itu Mahkamah Agung perlu segera mengeluarkan pedoman pelaksanaan.
2.      Pengumuman nama dan jabatan pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan pada mass media setempat.
3.      Pengumuman telah dapat dilakukan atau diterapkan atas biaya permohonan eksekusi.

Dalam hal putusan Pengadilan berupa pengabulan gugatan (Pasal 97 ayat (7) huruf b), maka kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara meliputi:
1.      Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan;
2.      Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang baru;
3.      Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3;
4.      Membayar ganti rugi;
5.      Melakukan rehabilitasi.


Khusus mengenai Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, Pasal 116 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan sebagai berikut:
(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari.
(2) Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.


Dari ketentuan di atas, jika dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajiban untuk melakukan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

Indonesia sebagai negara hukum yang salah satunya terdapat sistem peradilan yang bebas, dimana dalam sistem peradilan yang bebas pelaksanaan suatu putusan pengadilan merupakan hal yang terpenting demi menegakkan supremasi hukum dan kepastian hukum. Seharusnya apapun resiko yang didapat suatu putusan pengadilan wajiblah untuk dilaksanakan. Secara hukum putusan pengadilan TUN Bandar Lampung ini harus dilaksanakan demi menegakkan supremasi hukum dan menjamin kepastian hukum.
Selama belasan tahun eksistensi PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) di Indonesia, dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyaknya putusan PTUN yang tidak dapat dieksekusi telah menimbulkan pesimisme dan apatisme dalam masyarakat. Masalahnya adalah tidak adanya kekuatan eksekutorial dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN.

Kondisi ini merupakan suatu fakta yang memprihatinkan bahwa keberadaan PTUN belum dapat membawa keadilan bagi masyarakat dalam lingkup administratif pemerintahan. Prinsip adanya peradilan TUN, untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bila suatu putusan PTUN tidak memiliki kekuatan eksekutorial, bagaimana mungkin hukum dan masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintah yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN.

Permasalahan eksekusi putusan PTUN ini juga dapat timbul terkait dengan diberlakukannya otonomi daerah, karena dengan adanya otonomi daerah seluruh pejabat kepala daerah di tingkat kabupaten/kota memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola daerahnya dan hal tersebut pasti menggunakan metode keputusan keputusan administratif.


B. Permasalahan





B. Sengketa Tata Usaha Negara


Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyebutkan:
”Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Penyelesaian sengketa tata usaha negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:
1. Melalui Upaya Administratif
Upaya Administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan tata usaha negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri. Bentuk upaya administratif, yaitu:
a.       Keberatan, yaitu Prosedur (upaya administrasi) yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap KTUN yang penyelesaiaan sengketa TUN sebagai akibat dikeluarkannya KTUN tersebut dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat TUN mengeluarkan keputusan itu.
b.      Banding Administratif, yaitu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap KTUN yang penyelesaiaan sengketa TUN sebagai akibat dikeluarkannya KTUN tersebut dilakukan oleh atasan dari Badan atau Pejabat TUN mengeluarkan Keputusan itu atau instansi lain dari Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan yang tersebut.

2. Melalui Gugatan

Pada waktu Pasal 53 ayat (1) belum diadakan perubahan dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991 telah diberikan petunjuk lebih lanjut bahwa gugatan dapat juga diajukan melalui pos. Dengan demikian pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), dapat dilakukan dengan cara sebgai berikut:
a.       Gugatan diajukan langsung oleh penggugat atau
b.      Gugatan diajukan melalui pos oleh penggugat.

Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa tata usaha negara tersebut melalui upaya administratif, maka seseorang atau badan hukum perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang dengan memperhatikan kompetensi relatifnya.

Pihak yang bersengketa dalam Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu:
a. Penggugat
Dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 dirumuskan bahwa Penggugat adalah orang atau Badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisikan tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa dalam sengketa tata usaha negara, yang dapat bertindak sebagai penggugat adalah:
a)      Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara;
b)      Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara;
c)      Berdasarkan yurisprudensi putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara  tanggal 9 Desember 1994 Nomor 088/G/1994 Piutang/PTUN Surabaya bahwa organisasi lingkungan dapat bertindak sebagai penggugat dengan mengatasnamakan kepentingan umum jika organisasi tersebut memenuhi kriteria sebagai berikut:
1)      Tujuan dari organisasi ini tersebut memang melindungi lingkungan hidup atau menjaga kelestarian alam, tujuan ini harus tercantum dan dapat dilihat dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan;
2)      Organisasi tersebut harus berbentuk badan hukum atau yayasan;
3)      Organisasi tersebut harus secara berkesinambungan menunjukkan adanya kepedulian terhadap perlindungan lingkungan hidup yang secara nyata dimasyarakat;
4)      Organisasi tersebut harus cukup representatif.





b. Tergugat
Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya dengan ketentuan sebagai berikut:
a)      Jika wewenang diberikan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah atribusi atau delegasi, maka yang menjadi tergugat adalah badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang memperoleh wewenang tersebut untuk mengeluarkan KTUN yang disengketakan;
b)      Jika wewenang yang diberikan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu adalah mandat, maka yang menjadi tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang memberikan wewenang kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN yang disengketakan.

c. Pihak Ketiga

Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai:
a)      pihak yang membela haknya;
b)      atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.

Apabila pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa tersebut pada tingkat pertama. Keikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara yang di dalam kepustakaan biasa disebut intervensi.

C. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara


Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sama seperti hukum acara perdata juga dikenal adanya dua (2) putusan, yaitu:
a.       Putusan yang bukan putusan akhir
b.      Putusan akhir.

Adanya putusan yang disebut putusan yang bukan putusan akhir tersebut dapat disimpulkan dari perumusan Pasal 113 ayat (1) dan Pasal 124, yaitu sebagai berikut:
Pasal 113 ayat (1): “Putusan pengadilan yang bukan putusan akhir, meskipun diucapkan dalam sidang, tidak dibuat putusan tersendiri, melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang.”
Pasal 124: “Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan terakhir, hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir”.

Putusan yang bukan putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dinyatakan selesai. Tujuan dari dijatuhkannya putusan yang bukan putusan akhir adalah untuk memungkinkan atau mempermudah pelanjutan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara di sidang pengadilan.

Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, yang termasuk putusan yang bukan putusan akhir, yaitu:
a.       Putusan hakim yang memerintahkan kepada Penggugat atau Tergugat untuk datang menghadap sendiri ke pemeriksaan sidang pengadilan, meskipun sudah diwakili oleh seorang kuasa.
b.      Putusan Hakim Ketua Sidang yang mengangkat seorang ahli alih bahasa atau orang yang pandai bergaul dengan Penggugat atau saksi sebagai juru bahasa.
c.       Putusan Hakim Ketua Sidang yang menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli atas permintaan Penggugat dan Tergugat atau Penggugat atau Tergugat atau karena jabatannya.
d.      Putusan hakim mengenai beban pembuktian.

Dalam kepustatakaan Hukum Acara Perdata contoh putusan yang bukan putusan akhir pada butir a dinamakan putusan praepatoir, yaitu putusan yang dijatuhkan hakim untuk mempersiapkan dan mengatur mengenai pemeriksaan perkara. Mengenai bentuk putusan yang bukan putusan akhir, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 113 ayat (1), putusan tidak dibuat sebagai putusan tersendiri, melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang. Dengan demikian bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir, tidak dibuat seperti halnya putusan akhir yang merupakan surat atau dokumen  tersendiri terlepas dari berita acara sidang. Barang siapa yang mempunyai kepentingan dengan putusan yang bukan putusan akhir, yang bersangkutan dapat meminta salinan autentik dari berita acara sidang yang memuat putusan tersebut kepada panitera.

Terdapat beberapa putusan yang bukan putusan akhir yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu:
a.       Putusan hakim yang dijatuhkan karena jabatannya yang menyatakan tidak mempunyai kewenangan absolut;
b.      Putusan hakim yang mengabulkan eksepsi tentang kewenangan absolut yang dijatuhkan oleh tergugat;
c.       Putusan hakim yang mengabulkan eksepsi tentang kewenangan relatif yang diajukan oleh Tergugat (R. Wiyono. 2008: 191).

Ketiga putusan hakim tersebut dijatuhkan sebelum pokok perkara diperiksa. Sedangkan putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah pemeriksaan sengketa tata usaha negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut. Dari ketentuan dalam Pasal 97 ayat (2) diketahui bahwa putusan akhir dapat berupa:
a.       Gugatan ditolak
Putusan yang berupa gugatan yang ditolak adalah putusan yang menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa tata usaha negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dinyatakan batal atau sah.
b.      Gugatan tidak diterima
Putusan yang berupa gugatan tidak diterima adalah putusan yang menyatakan syarat-syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi oleh gugatan yang diajukan oleh Pengggugat. Diktum putusan ini sebenernya bersifat deklatoir, yang tidak membawa perubahan apa-apa dalam hubungan hukum yang ada antara penggugat dengan tergugat.
c.       Gugatan gugur
Putusan yang berupa ggatan gugur adalah putusn yang dijatuhkan hakim karena penggugat tidak hadir dalam beberapa kali sidang, meskipun telah dipanggil denagn patut atau penggugat telah meninggal dunia.
d.      Gugatan dikabulkan
Putusan yang berupa gugatan dikabulkan adalah putusan yang menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan Sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan tidak sah atau batal.

Terhadap gugatan yang dikabulkan, maka berdasarkan Pasal 97 ayat (9) pengadilan akan menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan kepada Badan atau Pejabat TUN selaku Tergugat, yaitu berupa:
a.       Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan.
b.      Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru.
c.       Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.

Di samping kewajiban-kewajban tersebut, pengadilan juga dapat membebankan kewajiban kepada Tergugat untuk membayar ganti rugi dan pemberian rehabilitasi dalam hal menyangkut sengketa kepegawaian.

Mengenai isi putusan, Pasal 109 ayat (1) ditentukan bahwa isi putusan harus memuat:
a.       Kepala putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
b.      Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediamana, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
c.       Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d.      Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e.       Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f.       Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g.      Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.

Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan (Pasal 109 ayat (2)). Kata ”dapat” tersebut mengandung arti bahwa kalau tidak terpenuhinya salah satu ketentuan diatas tidak secara otomatis menyebabkan putusan itu menjadi batal.

Agar suatu putusan menjadi batal, harus ada suatu permohonan dari pihak yang berkepentingan. Misalnya jika penggugat mempunyai kehendak agar putusan menjadi batal, maka dalam memori banding atau memori kasasi harus dimuat dengan tegas agar putusan dibatalkan, karena tidak terpenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1).

Dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara dikenal adanya beberapa kekuatan hukum dari putusan hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:
a. Kekuatan pembuktian
Kekuatan pembuktian dari putusan hakim adalah kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa dengan putusan tersebut telah diperoleh bukti tentang kepastian sesuatu. Putusan hakim adalah akta autentik, sehingga putusan hakim tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (Pasal 1868 jo Pasal 1870 KUH Perdata).

b. Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat dari putusan hakim adalah kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa putusan tersebut mengikat yang berkepentingan untuk menaati dan melaksanakannya. Karena dalam Peradilan Tata Usaha Negara berlaku asas erga omnes artinya putusan berlaku bagi semua, maka yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan adalah semua orang dan/atau semua badan hukum, baik badan hukum perdata maupun badan hukum publik.

c. Kekuatan eksekutorial.
Kekuatan eksekutorial dari putusan hakim adalah kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa putusan tersebut dapat dilaksanakan. Sebagai syarat bahwa suatu putusan hakim memperoleh kekuatan eksekutorial adalah dicantumkannya irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada putusan hakim tersebut.

D. Upaya Hukum Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara


Upaya hukum adalah alat atau sarana hukum untuk memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan pengailan. Upaya hukum yang dimaksud adalah
a.       Upaya hukum biasa yang terdiri dari:
a)      Perlawanan terhadap penetapan dismissal;
b)      Banding;
c)      Kasasi.

b.      Upaya hukum luar biasa yang terdiri dari:
a)      Peninjaun kembali;
b)      Kasasi demi kepentingan hukum.

Istilah upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa tidak dipergunakan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1986. Kedua istilah ini diambil dari istilah yang dipergunakan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (R. Wiyono. 2008: 202).

Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 Undang-Undang Peratun terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

Menurut Pasal 122, yang dapat mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara adalah penggugat dan/atau tergugat. Pihak ketiga yang masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara dan dikabulkan permohonannya oleh pengadilan sebagai penggugat intervensi menurut Pasal 83 ayat (3) dapat juga mengajukan permohonan di tingkat banding. Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.

Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut.

Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori banding diberikan kepada pihak lawan dengan perantara Panitera Pengadilan. Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan. Menurut Indroharto pemeriksaan di tingkat banding sifatnya adalah devolutif, artinya seluruh pemeriksaan perkara dipindahkan dan diulang oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (Indroharto. 1993: 223)

Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau.

Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan di tingkat Kasasi diatur dalam Pasal 131 Undang-Undang Peratun, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Menurut Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan undang-undang ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung.

Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 132 Undang-Undang Peratun, yang menyebutkan bahwa:
Ayat (1): “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.”
Ayat (2): “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.”

E. Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara


Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (recht staat) tentunya tindakan dari pemerintah tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dibutuhkan suatu pengujian yuridis terhadap tindakan pemerintah dan pengujian yang dilakukan terhadap tindakan pemerintah itu harus dapat menghasilkan perlindungan bagi kepentingan rakyat. Apabila tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat tidak sewenang-wenang dapat dikorbankan begitu saja. Demikian juga semangat prinsip dari PTUN tersebut harus diterapkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan kewenangan yang besar dan luas menimbulkan potensi penyelewenangan seperti “abuse of power” dan “excessive power” sehingga dibutuhkan pengawasan yang serius dalam hal ini.

Salah satu yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan PTUN adalah karena tidak terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam pelaksanaan putusan PTUN sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari pejabat TUN. Dengan penegoran sistem hirarki seperti diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1996 terbukti tidak efektif dalam pelaksaan putusan PTUN.

Salah satu yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan PTUN adalah karena tidak terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam pelaksanaan putusan PTUN sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari pejabat TUN. Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 116 ayat (4) dan ayat (5) yaitu adanya penjatuhan sanksi bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif serta publikasi di media cetak. Dalam perkembang selanjutnya dilakukan perubahan kedua terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 dimana di dalam Pasal 116 ayat (6) di samping diatur upaya-upaya sebagaimana diatur dalam undang-undang sebelumnya, diatur pula mengenai pelaporan ketidaktaatan pejabat Tata Usaha Negara untuk melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut kepada Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi serta kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan. Namun demikian masih banyak kendala dalam pelaksanaan upaya-upaya pemaksa tersebut baik pelaksanaan dwangsom/uang paksa maupun sanksi admistratif.

Dalam proses hukum acara TUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta dari suatu putusan akhir pengadilan. Hanya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Putusan Pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap adalah:
1.      Putusan pengadilan tingkat pertama yang sudah tidak dapat dilawan atau dimintakan pemeriksaan banding lagi;
2.      Putusan pengadilan tinggi yang sudah tidak dimintakan pemeriksaan kasasi lagi.
3.      Putusan MA dalam tingkat kasasi.

Pelaksanaan Putusan TUN dilakukan melalui surat tercatat, yang dikirim oleh panitera pengadilan TUN setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadili pada tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja. Setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan tersebut dikirim dan tergugat tidak secara suka rela melaksanakan isi putusan maka keputusan TUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Masalahnya apa dengan tidak mempunyai kekuatan hukum suatu putusan TUN, telah memenuhi rasa keadilan masyarakat? Banyak kasus, misalnya dalam hal Putusan TUN untuk membongkar suatu bangunan, pada saat Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan tidak sahnya keputusan pejabatan TUN tersebut,ternyata bangunan tersebut telah dibongkar. Pejabat TUN tidak mau secara sukarela menjalanankan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, maka terjadi eksekusi otomatis setelah 60 (enam puluh) hari kerja Putusan Pejabat TUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun dengan eksekusi otomatis ini, tidak mengembalikan juga kerugian masyarakat atas telah dibongkarnya bangunan tersebut.

Sifat paksaan riil seperti penyanderaan dan penghukuman denda paksa kepada pejabat TUN tidak dikenal dalam Hukum Acara TUN, oleh karenanya pelaksanaaan paksaan terhadap Pejabat TUN untuk melaksanakan putusan TUN merupakan kesukarelaan Pejabat TUN yang bersangkutan. Apabila paksaan ini dimungkinkan harus diingat bahwa:
1.      Harta benda yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat diletakan dalam sitaan eksekusi.
2.      Memperoleh kuasa untuk melaksanakan sendiri atas beban pemerintah (pihak tereksekusi) akan merupakan hal yang bertentangan dengan asas legalitas yang mengatakan bahwa berbuat sesuatu atau memutuskan sesuatu berdasarkan hukum publik itu semata-mata hanya dapat dilakukan oleh Badan atau pejabat TUN yang diberi kewenangan atau berdasar ketentuan undang-undang.
3.      Merampas kebebasan orang-orang yang sedang memangku jabatan pemerintahan sebagai sarana paksaan akan berakibat pantulan yang hebat terhadap jalannya pemerintahan.
4.      Pemerintah itu selalu dianggap dapat dan mampu membayar (solvabel).

Menurut sifatnya Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa putusan deklaratoir yaitu yang bersifat menerangkan saja. Putusan konstitutif yaitu yang bersifat meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum yang baru dan putusan condemnatoir yaitu bersifat penghukuman atau berisi kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu terhadap yang kalah. Menurut ketentuan Pasal 97 ayat (7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, putusan Peradilan Tata Usaha Negara dapat berupa: Gugatan ditolak, Gugatan dikabulkan, Gugatan tidak diterima dan Gugatan gugur. Dari macam isi dan sifat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut tidak semua putusan dapat dikenakan Upaya Paksa melainkan hanya putusan putusan yang memenuhi syarat saja, antara lain:
1.      Putusan yang menyatakan gugatan dikabulkan, yaitu apabila dari hasil pemeriksaan di persidangan ternyata dalil-dalil dari posita gugatan Penggugat telah terbukti secara formal maupun materiil dan telah dapat mendukung petitum yang dikemukakan Penggugat;
2.      Putusan bersifat condemnatoir, yaitu putusan yang sifatnya memberikan beban atau kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara seperti:
a.               Kewajiban mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan batal/tidak sah.
b.              Kewajiban menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara badan/pengganti.
c.               Kewajiban mencabut dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru.
d.              Kewajiban membayar ganti rugi.
e.               Kewajiban melaksanakan rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian.
3.      Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht Van Gewijsde), yaitu putusan pengadilan yang tidak dapat diterapkan upaya hukum lagi terhadap putusan tersebut.

Pelaksanaan suatu putusan pengadilan dalam kehidupan bernegara khususnya negara hukum sangat penting demi menjamin kepastian hukum. Suatu keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat diganggu gugat lagi, maksudnya dapat dilaksanakan dan harus ditaati oleh siapa pun juga termasuk Pemerintah. Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (kracht van gewisde) yang dapat dilaksanakan.

Jangka waktu penghitungan suatu putusan yang telah dibacakan sampai dengan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap dalam pengadilan Tata Usaha Negara mempunyai karakteristik yang berbeda dengan hukum acara Perdata, yang akhirnya akan bermuara pada eksekusi dari putusan tersebut. Yang dimaksud dengan eksekusi sendiri adalah pelaksanaan putusan pengadilan (executie).

Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas hari). Meskipun putusan Pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, para pihak yang berperkara dapat memperoleh salinan putusan yang dibubuhi catatan Panitera bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Tenggang waktu 14 (empat belas) hari di atas, dihitung sejak saat putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 116 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyatakan sebagai berikut:
(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari.
(2) Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diatur mengenai bagian-bagian baru pada Peradilan Tata Usaha Negara yang sebelumnya tidak diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, khususnya pada Pasal 116, Bagian kelima mengenai Pelaksanaan Putusan Pengadilan yaitu:
a.       Lembaga Upaya Paksa
Berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Mengenai penjelasan dari lembaga baru ini, belum dapat diberikan karena belum adanya peraturan pelaksanaan yang mengatur tentang struktur, tugas dan wewenang dari Jurusita/Jurusita Pengganti, untuk itu Mahkamah Agung perlu segera mengeluarkan pedoman pelaksanaan.
b.      Pengumuman nama dan jabatan pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan pada mass media setempat. Pengumuman telah dapat dilakukan atau diterapkan atas biaya permohonan eksekusi.

Selanjutnya perlu dicatat dan diperhatikan adanya suatu prinsip, bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan tetap, pada dasarnya merupakan keputusan hukum yang bersifat hukum public dan karena itu berlaku juga bagi pihak-pihak luar yang bersengketa (erga omnes)

Dalam hal putusan Pengadilan berupa pengabulan gugatan (Pasal 97 ayat (7) huruf b), maka kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara meliputi:
a.       Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan;
b.      Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang baru
c.       Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3;
d.      Membayar ganti rugi;
e.       Melakukan rehabilitasi.

Pasal 97 mengatur mengenai macam-macam bentuk putusan yaitu sebagai berikut:
(7) Putusan Pengadilan dapat berupa:
            a. gugatan ditolak
            b. gugatan dikabulkan
            c. gugatan tidak diterima
            d. gugatan gugur
(8) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
(9) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa:
a.       Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau
b.      Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
c.       Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3.

(10) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.

Jika dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajiban untuk melakukan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya yang berupa:
a.       Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang baru.
b.      Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara yang sebelumnya tidak ada (gugatan atas dasar Pasal 3).

Kemudian setelah tenggang waktu 3 bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka tindakan yang dapat dilakukan oleh penggugat ialah mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat pertama) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakan kewajiban tersebut, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan yang bersangkutan dalam waktu 2 (dua) bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat (tergugat) tersebut melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 119 dapat diketahui bahwa yang diberikan kewajiban untuk mengawasi eksekusi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap adalah ketua pengadilan. Ketua pengadilan yang dimaksud di sini adalah ketua pengadilan yang mengadili Sengketa Tata Usaha Negara pada tingkat pertama. oleh karena itu, dapat dimengerti jika Ketua Pengadilan diberikan beberapa wewenang sebagaiman dimaksud dalam Pasal 116 ayat (4), ayat (5), ayat (6) ayat (7),dan Pasal 117 ayat (4).

F. Kesimpulan

Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sama seperti hukum acara perdata juga dikenal adanya dua (2) putusan, yaitu:
c.       Putusan yang bukan putusan akhir
d.      Putusan akhir.

Adanya putusan yang disebut putusan yang bukan putusan akhir tersebut dapat disimpulkan dari perumusan Pasal 113 ayat (1) dan Pasal 124, yaitu sebagai berikut:
Pasal 113 ayat (1): “Putusan pengadilan yang bukan putusan akhir, meskipun diucapkan dalam sidang, tidak dibuat putusan tersendiri, melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang.”
Pasal 124: “Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan terakhir, hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir”.

Putusan yang bukan putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dinyatakan selesai. Tujuan dari dijatuhkannya putusan yang bukan putusan akhir adalah untuk memungkinkan atau mempermudah pelanjutan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara di sidang pengadilan.

Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, yang termasuk putusan yang bukan putusan akhir, yaitu:
e.       Putusan hakim yang memerintahkan kepada Penggugat atau Tergugat untuk datang menghadap sendiri ke pemeriksaan sidang pengadilan, meskipun sudah diwakili oleh seorang kuasa.
f.       Putusan Hakim Ketua Sidang yang mengangkat seorang ahli alih bahasa atau orang yang pandai bergaul dengan Penggugat atau saksi sebagai juru bahasa.
g.      Putusan Hakim Ketua Sidang yang menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli atas permintaan Penggugat dan Tergugat atau Penggugat atau Tergugat atau karena jabatannya.
h.      Putusan hakim mengenai beban pembuktian.

Pelaksanaan suatu putusan pengadilan dalam kehidupan bernegara khususnya negara hukum sangat penting demi menjamin kepastian hukum. Suatu keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat diganggu gugat lagi, maksudnya dapat dilaksanakan dan harus ditaati oleh siapa pun juga termasuk Pemerintah. Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (kracht van gewisde) yang dapat dilaksanakan.

Jangka waktu penghitungan suatu putusan yang telah dibacakan sampai dengan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap dalam pengadilan Tata Usaha Negara mempunyai karakteristik yang berbeda dengan hukum acara Perdata, yang akhirnya akan bermuara pada eksekusi dari putusan tersebut. Yang dimaksud dengan eksekusi sendiri adalah pelaksanaan putusan pengadilan (executie).

Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas hari). Meskipun putusan Pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, para pihak yang berperkara dapat memperoleh salinan putusan yang dibubuhi catatan Panitera bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Tenggang waktu 14 (empat belas) hari di atas, dihitung sejak saat putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

G. Rekomendasi
Sebaiknya negara dan pejabat tata usaha negara wajib melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara khususnya yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap demi menjamin kepastian hukum dan supremasi hukum di Indonesia. Para pejabat tata usaha negara dalam mengeluarkan suatu keputusan tata usaha negara harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik, misalnya asas kecermatan dan asas kepastian hukum.






DAFTAR PUSTAKA


Buku:
Hadjon, Philipus M. 2005. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

Hamidi, Jazim. 1999. Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan
Pemerintahan Yang Layak (AAUPPL) di Lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Harahap, Yahya. 1997. Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia. Zahir
Trading Co., Medan

Indroharto, 1993. Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Kaligis, O.C. 1999. Praktik-Praktik Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia,
Alumni, Bandung.

Marbun, S.F. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di
Indonesia. Penerbit Liberty, Yogyakarta.

----------------. 2003. Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Muchsan, 2008. Bahan Kuliah Hukum Tata Usaha Negara, Magister Hukum
UGM, Yogyakarta.

Nasir, M. 2003. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Djambatan,
Jakarta.

Prodjohamidjojo, Martiman. 1996, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
Ghalia Indonesia, Jakarta.

Ridwan, H. R. 2002. Hukum Administrasi Negara. UII Press, Yogyakarta.

Sayekti, Sri. 1999. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Buku Ajar),
Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Wiyono, R. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika,
Jakarta.

Wijoyo, Suparto. 1997, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administratif,
Airlanggga University Press, Yagyakarta.


Peraturan perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
 



1 komentar:

  1. Borgata Hotel Casino & Spa - JTM Hub
    Borgata Hotel Casino & Spa is a resort in Atlantic 대전광역 출장마사지 City, New 경산 출장마사지 Jersey. The casino has been 충청북도 출장안마 open since June 2013 남양주 출장마사지 and is 계룡 출장안마 open daily 24 hours.

    BalasHapus