Minggu, 30 September 2012

Penataan Ruang dan Ruang Terbuka Hijau



Penataan Ruang dan Ruang Terbuka Hijau


1. Penataan Ruang


1. 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Tata Ruang

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan menurut D. A. Tisnaamidjaja, mengatakan ruang adalah wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak (M. Daud Silalahi, 2001: 78-79).

Ruang sebagai salah satu tempat untuk melangsungkan kehidupan manusia, juga sebagai sumber daya alam merupakan salah satu karunia Tuhan kepada Bangsa Indonesia. Dengan demikian ruang wilayah Indonesia merupakan suatu aset yang harus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia secara terkoordinasi, terpadu dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor lain seperti, ekonomi, sosial, budaya, hankam, serta kelestarian lingkungan untuk mendorong terciptanya pembangunan nasional yang serasi dan seimbang.

1. 2 Dasar Hukum Tata Ruang

Menurut Juniarso Ridwan (2008: 23) konsep dasar hukum penataan ruang, tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 yang menyatakan: ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia…”. Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen keempat, menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut M. Daud Silalahi (2001: 78-79) salah satu konsep dasar pemikiran tata ruang menurut hukum Indonesia terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960. Sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, tentang pengertian hak menguasai dari negara terhadap konsep tata ruang, Pasal 2 UUPA memuat wewenang untuk:
a.       Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b.      Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c.       Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Konsep tata ruang dalam tiga dimensi tersebut di atas, terkait dengan mekanisme kelembagaan dan untuk perencanannya diatur dalam Pasal 14 yang menyatakan:
(1)   Pemerintah dalam rangka membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa, dan
(2)   Berdasarkan rencana umum tersebut Pemda mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa.

Selanjutnya, Pasal 15 mengatur tentang pemeliharaan tanah, termasuk mengambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya yang merupakan kewajiban setiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak ekonomi lemah.

Ketentuan tersebut memberikan hak penguasan kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada negara untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Kalimat tersebut mengandung makna, negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya kesejahteraan rakyat yang dikehendaki.

Untuk dapat mewujudkan tujuan negara tersebut, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti negara harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan tadi dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah. Apabila dicermati dengan seksama, kekayaan alam yang ada dan dimiliki oleh negara, yang semuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis, maka dalam pemanfaatannya pun harus diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi, sehingga tidak akan adanya perusakan terhadap lingkungan hidup.

Upaya pelaksanaan perencanaan penataan ruang yang bijaksana adalah kunci dalam pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam konteks penguasaan negara atas dasar sumber daya alam, menurut Juniarso Ridwan ”melekat di dalam kewajiban negara untuk melindungi, melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup secara utuh”, artinya aktivitas pembangunan yang dihasilkan dari perencanaan tata ruang pada umumnya bernuansa pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan.

Untuk lebih mengoptimalkan konsep penataan ruang, maka peraturan-peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan oleh pihak pemerintah. Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur penataan ruang adalah Undang-Undang No. 267 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 merupakan undang-undang pokok yang mengatur tentang pelaksanaan penataan ruang. Keberadaan undang-undang tersebut diharapkan selain sebagai konsep dasar hukum dalam melaksanakan perencanaan tata ruang, juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan pemerintah dalam penataan dan pelestarian lingkungan hidup.

1. 3 Asas dan Tujuan Penataan Ruang

Menurut Herman Hermit (2008: 68), sebagaimana asas hukum yang paling utama yaitu keadilan, maka arah dan kerangka pemikiran serta pendekatan-pendekatan dalam pengaturan (substansi peraturan perundang-undangan) apa pun, termasuk Undang-Undang Penataan Ruang, wajib dijiwai oleh asas keadilan. Adapun asas penataan ruang menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah:
a.       keterpaduan;
b.      keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
c.       keberlanjutan;
d.      keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e.       keterbukaan;
f.       kebersamaan dan kemitraan;
g.      pelindungan kepentingan umum;
h.      kepastian hukum dan keadilan; dan
i.        akuntabilitas.


Kesembilan asas penyelenggaraan penataan ruang tersebut pada intinya merupakan norma-norma yang diambil untuk memayungi semua kaidah-kaidah pengaturan penataan ruang. Adapun tujuan penataan ruang menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a.       terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b.      terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c.       terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Pasal 3 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007).

1. 4 Klasifikasi Penataan Ruang

Menurut Hermit (2008: 68), klasifikasi penataan ruang bukan merupakan hal baru dalam pengaturan sistem penataan ruang Indonesia. Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategi kawasan. Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan dan nilai strategis kawasan (Pasal 4). Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.       kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana;
b.      potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan
c.       geostrategi, geopolitik dan geoekonomi.

1. 5 Tata Ruang Perkotaan

Kawasan/zona di wilayah perkotaan dibagi dalam beberapa zona sebagai berikut:
a.       Perumahan dan permukiman;
b.      Perdagangan dan jasa;
c.       Industri;
d.      Pendidikan;
e.       Perkantoran dan jasa;
f.       Terminal;
g.      Wisata dan taman rekreasi;
h.      Pertanian dan perkebunan;
i.        Tempat pemakaman umum;
j.        Tempat pembuangan sampah.

Dampak dari rencana tata ruang di wilayah perkotaan yang tidak diikuti adalah ketidakteraturan kawasan, mengakibatkan berkembangnya kawasan kumuh yang berdampak kepada gangguan terhadap sistem transportasi, sulitnya mengatasi dampak lingkungan yang berimplifikasi kepada kesehatan, sulitnya mengatasi kebakaran bila terjadi kebakaran. Tata ruang atau dalam bahasa Inggrisnya land use adalah wujud struktur ruang dan pola ruang disusun secara nasional, regional dan lokal. Secara nasional disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK).

Dalam rangka klasifikasi penataan ruang ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 ditegaskan sebagai berikut:
a.       Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan;
b.      Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya;
c.       Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
d.      Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan;
e.       Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang kawasan strategis provinsi dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.

Secara umum, karakteristik dari Rencana Tata Ruang Wilayah adalah sebagai berikut:
a.       Rencana Tata Ruang Wilayah Kota merupakan penjabaran lebih lanjut dari RTRW Nasional dan RTRW Provinsi, khususnya dalam hal pemanfaatan ruang dan perencanaan wilayah kota.
b.      Rencana Tata Ruang Kota dalam penyusunannya mengacu pada Rencana Pembangunan Lima Tahun atau sekarang dikenal dengan istilah Rencana Strategis (Restra) Kota, khususnya yang berkaitan dengan strategis perwilayahan pembangunan dan pemanfaatan ruang.
c.       Rencana Tata Ruang Wilayah Kota merupakan rencana wilayah skala administrasi kota yang mencerminkan strategi pengembangan wilayah kota dalam kurun waktu 10 tahun, yang dijabarkan dalam skala prioritas 5 tahunan, sejalan dengan pelaksanaan Propenas.
d.      Rencana Tata Ruang Wilayah Kota harus bersifat partisipatif dalam arti membuka kesempatan bagi peran serta swasta dan masyarakat melalui penjaringan aspirasi masyarakat, dinamis dan fleksibel serta akomodatif.

2. 1. 6 Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang

Hak-hak setiap orang yang berkaitan dengan Penataan Ruang, ditegaskan dalam Pasal 60 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, yaitu sebagai berikut:

a.       Mengetahui rencana tata ruang;
b.      Menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c.       Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d.      Mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e.       Mengajukan tuntutat pembatalan izin dan penghentian pembangunann yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang, dan;
f.       Mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.

Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a.       Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b.      Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dan pejabat yang berwenang;
c.       Mematuhi ketetntuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d.      Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Peran masyarakat dalam Penataan Ruang ditegaskan dalam Pasal 65 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, yaitu sebagai berikut:
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.
(2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain melalui:
a.       Partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b.      Partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c.       Partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

2. 2 Ruang Terbuka Hijau (RTH)


2. 2. 1 Definisi dan Pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi:
a.       bentuk RTH alami, yaitu habitat liar/alami, kawasan lindung; dan
b.      bentuk RTH non alami atau RTH binaan, yaitu pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga dan pemakaman.

Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasi-fikasi menjadi:
a.       bentuk RTH kawasan (areal, non linear); dan
b.      bentuk RTH jalur (koridor, linear).

Berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi:
a.       RTH kawasan perdagangan;
b.      RTH kawasan perindustrian;
c.       RTH kawasan permukiman;
d.      RTH kawasan pertanian; dan
e.       RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga dan alamiah.

Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi:
a.       RTH Publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh pemerintah (pusat, daerah); dan
b.      RTH Privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat.

2. 2. 2 Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Kegiatan-kegiatan manusia yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan hijau mengakibatkan perubahan pada lingkungan yang akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan perkotaan. Kesadaran menjaga kelestarian lingkungan hijau pasti akan lebih baik jika setiap orang mengetahui fungsi RTH bagi lingkungan perkotaan. fungsi dari RTH secara umum bagi kota yaitu untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan dalam kota dengan sasaran untuk memaksimumkan tingkat kesejahteraan warga kota dengan menciptakan lingkungan yang lebih baik dan sehat.

Secara khusus RTH, baik RTH publik maupun RTH privat, memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan dan keberlanjutan kota.
RTH berfungsi ekologis yaitu menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, harus merupakan satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti RTH untuk perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat hidupan liar. RTH untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan RTH pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi dan pendukung arsitektur kota.

Melihat beberapa fungsi tersebut di atas, dapat diketahui pada dasarnya RTH kota mempunyai tiga fungsi dasar yaitu:
a.       Berfungsi secara sosial yaitu fasilitas untuk umum dengan fungsi rekreasi, pendidikan dan olahraga serta menjalin komunikasi antar warga kota.
b.      Berfungsi secara fisik yaitu sebagai paru-paru kota, melindungi sistem air, peredam bunyi, pemenuhan kebutuhan visual, menahan perkembangan lahan terbangun atau sebagai penyangga dan melindungi warga kota dari polusi udara
c.       Berfungsi sebagai estetika yaitu pengikat antar elemen gedung dalam kota, pemberi ciri dalam membentuk wajah kota dan unsur dalam penataan arsitektur perkotaan.

Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat langsung seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), kenyamanan fisik (teduh, segar), keinginan dan manfaat tidak langsung seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati.
2. 2. 3 Pola dan Struktur Fungsional Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Pola RTH kota merupakan struktur RTH yang ditentukan oleh hubungan fungsional (ekologis, sosial, ekonomi, arsitektural) komponen pembentuknya. Pola RTH terdiri dari RTH struktural dan RTH non struktural. RTH struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pembentuknya yang mempunyai pola hierarki planalogis yang bersifat antroposentris. RTH tipe ini didominasi oleh fungsi-fungsi non ekologis dengan struktur RTH binaan yang berhirarki. Contohnya adalah struktur RTH berdasarkan fungsi sosial dalam melayani kebutuhan rekreasi luar ruang (outdoor recreation) penduduk perkotaan seperti yang diperlihatkan dalam urutan hierakial sistem pertamanan kota (urban park system) yang dimulai dari taman perumahan, taman lingkungan, taman kecamatan, taman kota, taman regional, dst).

RTH non struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pembentuknya yang umumnya tidak mengikuti pola hierarki planologis karena bersifat ekosentris. RTH tipe ini memiliki fungsi ekologis yang sangat dominan dengan struktur RTH alami yang tidak berhierarki. Contohnya adalah struktur RTH yang dibentuk oleh konfigurasi ekologis bentang alam perkotaan tersebut, seperti RTH kawasan lindung, RTH perbukitan yang terjal, RTH sempadan sungai, RTH sempadan danau, RTH pesisir. Untuk suatu wilayah perkotaan, maka pola RTH kota tersebut dapat dibangun dengan mengintegrasikan dua pola RTH ini berdasarkan bobot tertinggi pada kerawanan ekologis kota (tipologi alamiah kota: kota lembah, kota pegunungan, kota pantai, kota pulau, dll) sehingga dihasilkan suatu pola RTH struktural.

2. 2. 4 Karakteristik Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Beberapa karakteristik dari ruang terbuka hijau dapat diuraikan sebagai berikut, yaitu:
a.       Luasan ruang terbuka hijau, menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa RTH minimal harus memiliki luasan 30% dari luas total wilayah, dengan porsi 20% sebagai RTH publik.
b.      Bentuk ruang terbuka hijau, ada dua bentuk RTH yaitu bentuk jalur atau memanjang dan bentuk pulau atau mengelompok. RTH berbentuk jalur biasanya mengikuti pola ruang yang berdampingan, misalnya jalur hijau di pinggir atau di median jalan, jalur hijau di sempadan sungai, jalur hijau sepanjang rel kereta api, jalur hijau di bawah Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTET) dan sabuk hijau kota. Sedangkan RTH yang berbentuk mengelompok seperti taman, hutan kota, tempat pemakaman umum, pengaman bandara dan kebun raya.
c.       Elemen vegetasi atau tanaman merupakan unsur yang dominan dalam RTH. Vegetasi dapat ditata sedemikian rupa sehingga mampu berfungsi sebagai pembentuk ruang, pengendalian suhu udara, memperbaiki kondisi tanah dan sebagainya. Vegetasi dapat menghadirkan estetika tertentu yang terkesan alamiah dari garis, bentuk, warna, dan tekstur yang ada dari tajuk, daun, batang, cabang, kulit batang, akar, bunga, buah maupun aroma yang ditimbukan dari daun, bunga maupun buahnya. Untuk memaksimalkan fungsi RTH, hendaknya dipilih tanaman berdasarkan beberapa pertimbangan dengan tujuan agar tanaman dapat tumbuh baik dan dapat menanggulangi masalah lingkungan yang muncul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar